Sabtu, 29 Juni 2013

yuk Belajar Tahsin al-Quran

Selasa, 21 Agustus 2012

KETAATAN PASCA RAMADAN

Ketaatan apa lagi setelah Ramadan? 
Rupanya Idul Fitri tidak rela ketaatan kita surut karena syawwal itu sendiri bermakna peningkatan. Islam menuntut kontinyuitas setiap ketaatan kepada Sang  Rabb. Seorang yang rabbani akan selalu bersama Allah dan bertawakkal kepada-Nya di mana pun dan kapan pun. 

Pasca Idul Fitri, Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk berpuasa selama enam hari di bulan Syawwal. Sunnah itu dimaksudkan agar kita selalu berada dalam perjanjian dengan Allah azza wa jalla. Selesai ibadah satu ke ibadah lainnya, selesai satu ketaatan, beralih kepada ketaatan lainnya. Rasulullah bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Siapa saja yang mengerjakan puasa ramadan kemudian menyusulinya dengan puasa enam hari dari Syawwal maka seperti puasa setahun penuh. (HR Muslim).

Puasa Ramadan selama satu bulan nilainya sama dengan puasa sepuluh bulan, dan puasa enam hari di bulan syawwal sama dengan puasa dua bulan. Satu kebaikan dilipatkan sepuluh kebaikan yang serupa. Karena itulah seakan-akan kita berpuasa sepenuh tahun. Bila kita puasa enam hari di bulan syawwal, maka seakan kita puasa setahun penuh.

Hari ini kita baru memasuki 4 Syawwal 1433, dan Dzulqa’dah insya Allah mulai pada 17 September 2012. Syawwal tahun ini insya Allah 29 hari. Itu berarti masih ada waktu cukup bagi kita untuk menunaikan puasa enam hari. Pelaksanaannya bisa secara langsung pada 2 Syawawal, bisa juga tidak. Bisa secara terus menerus enam hari, bisa juga tidak terus menerus. Bila kita punya hutang puasa Ramadan maka utamakanlah puasa qadla untuk membayar puasa yang sempat terputus, baru kita menunaikan puasa enam hari dari bulan Syawwal.

Di beberapa daerah, khususnya di Jawa Tengah, ada tradisi Bada Kupat atau Lebaran Ketupat. Ketupat sebagai makanan spesial hari Lebaran bukan dihidangkan pada tanggal 1 Syawwal namun baru dirayakan sepekan setelah berlebaran. Hal itu dimaksudkan untuk merayakan kesyukuran setelah melaksanakan puasa Ramadan selama satu bulan kemudian ditambah dengan enam hari puasa Syawwal. Budaya seperti ini bukanlah berasal dari agama namun tradisi ini merupakan ekspresi kegembiraan dan kesyukuran atas kemenangan besar setelah melaksanakan ketaatan yang purna.

 Yuk, kita puasa syawwal sebelum syawwal berlalu.

Kamis, 26 Juli 2012

TIGA KELOMPOK MANUSIA



ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ

QS Fathir (35) Ayat 32

Allah Subhanahuwata’ala mengungkap bahwa setelah al-Quran diwariskan kepada ummat Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam, manusia terbagi dalam tiga kelompok besar, yaitu: (1) Kelompok yang menganiaya diri sendiri; (2) Kelompok Muqtashid; dan (3) Kelompok yang berlomba melakukan kebaikan.

Kelompok yang menganiaya diri sendiri (ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ)
Al-Quran sudah berada di tangan namun tidak senang membacanya, tidak ada usaha untuk memahami apa isi al-Quran, sehingga gerak langkah dan tutur katanya tidak lagi sesuai dengan apa yang ditunjukkan Allah di dalam al-Quran.  Syekh Muhammad Abduh menyatakan, “Betapa banyak orang membaca al-Quran namun dilaknat oleh ayat yang ia baca. Apa sebab? QS 62 (al-Jum’ah): 5

مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَاراً بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak mengamalkannya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangat buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.
Kitab tetap suci, keledai tetap terpendam dalam kebodohan. Itulah orang yang dlolim kepada dirinya sendiri.
Kelompok Muqtashid (مُّقْتَصِدٌ)
Orang yang termasuk dalam kelompok ini maju tidak, mundurpun tidak. Mereka senang membaurkan antara yang baik dengan yang buruk walaupun al-Quran telah memberi pelajaran, sehingga hidupnya seperti itu. QS 22 (al-Hajj): 11

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ

Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi (tidak dengan penuh keyakinan); jika memperoleh kebajikan, dia merasa puas, dan jika dia ditimpa suatu cobaan, di berbalik ke belakang (kembali kafir). Dia rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata.
Di tepi” maksudnya adalah berada dalam garis pemisah antara kafir dan Islam. Kaki kanan Islam, kaki kiri masih berpijak dalam kekafiran. Hal ini yang diherankan oleh Rasulullah SAW:
Saya heran melihat orang yang menghabiskan umurnya hanya sekedar untuk mengejar duniawi semata, padahal mati selelu mengejar. Ia sibuk mengejar dunia, matipun segera menyusul dan mengintainya. Saya heran melihat orang yang lupa diri tugas dan kewajiban kepada Allah, padahal Allah tidak pernah melupakan nasib mereka. Saya juga heran melihat orang yang tertawa terbahak-bahak sepenuh mulutnya, dia sendiri tidak sadar apakah itu diridloi Allah atau justru mengundang kemurkaan Allah. Hal seperti ini tidak diridloi Allah Subhanahu wata’ala. 
Dalam QS 41 (Fushshilat): 51 Allah mengingatkan:

وَإِذَا أَنْعَمْنَا عَلَى الْإِنسَانِ أَعْرَضَ وَنَأى بِجَانِبِهِ وَإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُو دُعَاء عَرِيضٍ

Bilamana Kami beri kesenangan, kebahagiaan, kejayaan kepada manusia, kebanyakam manusia berpaling (sikap sombong), lupa diri, lupa tugas, lupa statusnya sebagai hamba. Apabila ditimpa malapetaka, maka ia banyak berdoa.

Model muqtashid ini  tetap di tempat. Kualitas imannya tidak pernah meningkat. Dalam masjid dia beriman, dalam pasar ia kafir. Pagi hari beriman, sore hari kafir.
Kedua kelompok tsb di atas tidak disukai Allah Subhanahu wata’ala.

Kelompok Selalu Berlomba Kebaikan (سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ )
Orang yang masuk dalam kelompok ini senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan, membina dirinya, membentuk dirinya, meningkatkan kualitas imannya, akhlaqnya dan ibadahnya sehingga betul-betul menjadi ummat pilihan. (QS 3:110)

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ

Kelompok ini juga melakukan amar ma’ruf dan  nahiy munkar. Selalu mengajak berbuat baik dan tidak segan mencegah kemunkaran. Shaum Ramadhan adalah saat terbaik untuk berlomba dalam kebaikan karena nilai kebaikannya berlipat ganda dibanding melakukannya di luar bulan Ramadan.

Ayuk kita optimalkan Ramadhan dengan banyak ibadah, mengkaji al-Quran --terlebih bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Quran--, berinfaq, membantu yatim dan dhu’afa, dan amal kemaslahatan lainnya agar tergolong kelompok yang selalu berlomba dalam kebaikan.

[7 Ramadhan 1433 | Yunan Hilmy al-Anshary©2012]

Rabu, 25 Juli 2012

Kembali Mulia Kembali Taqwa


Bila kita cermati isi al-Quran, Allah memerintahkan ibadah shaum  dengan lafadz kutiba (QS. 2:183), tidak seperti perintah ibadah-ibadah yang lain. Sholat dan zakat diperintahkan dengan lafadz aqimush-sholata wa aatuzzakata. Haji, dengan lafadz wa lillahi ‘alannasi hijjulbayti manistatho’a ilaihi sabila.

Namun penggunaan lafadz kutiba tidak saja diperuntukkan untuk shaum melainkan juga perintah wasiat (QS. 2:180), perintah qishos (QS. 2:178), dan perintah qital/perang (QS. 2:216). Ketiga perintah tersebut berkaitan dengan kematian. Mengapa perintah shaum dikaitkan/disejajarkan dengan kematian? Kemana arah perintah shiyam ini?

Perintah shaum, bukanlah terkait dengan kematian fisik melainkan kematian atau kebekuan hati yang kita dihadapi. Untuk mencerahkan kembali hati sanubari inilah maka kita diperintahkan shaum Ramadhan agar terbangun dan tercapai kembali kemuliaan yang telah diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala kepada kita.
Melalui Al-Quran Surah al-Isra’ Ayat 70 Allah subhanhu wata’ala  menyatakan:

                     وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan dilautan, Kami berikan mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
Hanya seringkali kita alpa bukannya mempertahankan kemuliaan  melainkan mengotori atau meracuni diri kita sendiri dengan berbagai perbuatan ma’asyi, sehingga jatuhlah martabat kita lebih rendah dari binatang. 
Kemuliaan ini hanya bisa dipertahankan dengan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah

                                   ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُواْ إِلاَّ بِحَبْلٍ مِّنْ اللّه وَحَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ  

Manusia akan hina jatuh martabatnya dimanapun mereka berada, apapun pangkat jabatan dan kedudukannya, sekaya apapun, sepintar apapun,  kecuali kalau mereka mampu  memperbaiki hubungan dengan Allah dan sesama manusia. (Lihat QS. 3: 112). Selanjutnya Allah menyatakan bahwa sesungguhnya yang paling mulia disisi Allah adalah yang paling bertaqwa. (Lihat QS. 49:13).

al-Hadits
Tidak ada seorangpun yang luput dari dosa dan kesalahan kecuali yang memang dijaga dan dipelihara Allah (maksum) seperti Rasulullah. Setiap kita yang telah melakukan dosa oleh Allah akan diberikan titik hitam dalam hatinya. Semakin banyak dosa semakin tertutup hati kita oleh noda hitam. Inilah yang hendak kita raih di dalam bulan Ramadhan: hati kembali bersih, kembali pada kemuliaan yang telah dikukuhkan Allah subhanahu wata’ala dan kembali taqwallah yang prima.

Ayuk, kita hindari bermacam dosa, dosa yang terampuni maupun dan apalagi dosa yang tidak terampuni, seperti menyekutukan ALLAH. Bukan sekedar menyekutukan Allah dengan berhala namun menjadikan hawa nafsu sebagai tuhan. Na’udzubillahi min dzalika.

Memang berat ujian dalam bulan Ramadhan. Di bulan Ramadhan setannya labih hebat.Hebat tipuannya. Setan bukan menggoda orang untuk tidak shaum namun merusak nilai-nilai shaum. Namun bila shaum ini kita landasi dengan iman dan ihtishab, insya Allah kita bisa mengatasainya. Man shaama romadhaana iymanan wahtisaaban ghufirolahu maataqoddama mindzanbih. Siapa saja yang shaum dengan iman dan ihtishab maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.  Imanan maksudnya sesuai dengan aturan atau syariah dan wahtisaaban adalah penuh dengan kehati-hatian.

Selamat menjalankan shaum Ramadhan 1433



Sabtu, 26 Mei 2012

Berbisnis Dengan ALLAH

Suatu hari, usai mendengarkan nasihat-nasihat yang disampaikan Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam kepada para sahabatnya di Masjid Nabawi, Madinah, maka pulanglah Ali bin Abi Thalib ke rumahnya. 

Sesampai di rumahnya, ia menemui isterinya, Fatimah, putri Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam yang sedang duduk memintal benang.
“Wahai perempuan yang mulia. Adakah sesuatu makanan yang dapat dimakan oleh suamimu ini?” Tanya Ali. 
Fatimah pun menjawab, “Demi Allah, aku tidak mempunyai sesuatupun. Tetapi aku punya uang enam dirham yang akan kugunakan untuk membeli makanan buat Hasan dan Husein.”
“Tolong, berikanlah uang itu kepadaku.” ujar Ali. 
Fatimah pun memberikan uang itu kepada Ali bin Abi Thalib. 

Setelah itu, Ali pun segera keluar membawa uang enam dirham itu untuk membeli makanan untuk Hasan dan Husein. Dalam perjalanan, Ali melihat seorang lelaki yang sedang berdiri di dekat pohon kurma dengan pakaian yang sangat kumal. Rupanya ia seorang pengemis. 

Melihat ada yang mendekat, pengemis itupun meminta kepada Ali.
“Wahai tuan, siapakah yang hendak mengutangi Allah dengan piutang yang baik?” ujar laki-laki tersebut seraya mengutip ayat al-Quran surah Al-Baqarah [2] ayat 245. 
“Siapakah yang mau memberikan pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan kelipatan yang lebih banyak. Dan Allah akan menyempitkan dan melapangkan rizki, dan kepada-Nya lah kamu kembali.”
Secara spontan Ali pun memberikan semua yang dimilikinya itu tanpa sisa. Setelah itu ia pun segera kembali ke rumahnya dengan hati yang sangat lapang penuh kepuasan.

Namun, ketika Fatimah menyaksikan suaminya yang pulang tanpa membawa apa pun, maka menangislah putri Shalallahu ‘alaihi wasallam ini. 

Menyaksikan hal itu, Ali pun bertanya: “Wahai perempuan yang mulia, mengapa engkau menangis?” 

“Wahai putra paman Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam, kulihat engkau tidak membawa apa-apa dari uang yang aku berikan tadi. Mengapa bisa demikian? Bagaimana makanan Hasan dan Husein?” 

Ali pun kemudian menyampaikan kejadian yang sesungguhnya. “Wahai perempuan yang mulia, sesungguhnya uang itu telah dipinjamkan kepada Allah, jelas Ali. 

Mendengar hal itu, maka Fatimah pun tersenyum seraya berkata, “Engkau benar suamiku.” Maka selesailah sementara persoalan mereka hadapi. Namun bagaimana dengan hari esok? 

Ali pun kemudian berpamitan kepada Fatimah. Ia bermaksud menemui Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam. Di tengah perjalanan ia berjumpa dengan seorang Arab dusun yang sedang menuntun seekor unta betina. Orang Arab dusun tersebut berkata kepada Ali. 

“Hai Pak Hasan, belilah unta ini dariku.” 
Ali menjawab, “Aku tidak memiliki uang.” 
Gampang, beli saja unta ini dan nanti engkau bisa membayarnya setelah laku,” kata arab dusun itu.
“Berapa engkau akan menjual unta ini?” Tanya Ali. 
“Seratus dirham,” jawabnya. 
“Baiklah, kalau begitu aku membelinya,” kata Ali. 

Setelah semuanya disepakati, berpisahlah Ali dengan dengan orang arab dusun tersebut. Ali lalu membawa unta betina itu untuk dijual. Saat menuntun unta tersebut, tiba-tiba datanglah orang arab dusun lainnya. Ia bertanya kepada Ali. 

“Wahai Bapak Hasan, apakah engkau akan menjual unta ini?” Ali pun mengiyakannya. 

“Berapa engkau akan menjualnya?” Tanya arab dusun itu. 
“Seratus enam puluh dirham,” kata Ali. 
“Baiklah, aku beli unta itu,” jawab Arab dusun tersebut. 

Maka iapun membayar harga unta itu kepada Ali bin Abi Thalib. Setelah itu, Ali mencari Arab dusun yang pertama. Dan saat bertemu, ia serahkan harga unta yang dibelinya itu dengan harga seratus dirham. 

Selanjtnya Ali pun pulang dan bertemu dengan isteri tercinta, Sayyidah Fatimah a-Zahra. Ali kemudian memberikan semua uang yang didapatannya hari itu kepada Fatimah. Isterinya heran melihat dirham yang demikian banyak itu. Ia pun bertnya kepada Ali dari mana sumber dana yang didapatkannya itu. 

“Inilah hasil kita berniaga dengan Allah,” kata Ali. Maka tersenyumlah Fatimah. Ali kemudian menceriterakan peristiwa yang dialaminya hari itu kepada Fatimah. Mereka bertanya-tanya, siapakah gerangan kedua orang arab dusun itu? Ali kemudian mendatangi Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam dan menceriterakan hal itu. Rasul menjelaskan bahwa orang yang menjual unta itu adalah malaikat Jibril, dan yang membelinya adalah malaikat Mikail. Sedangkan unta itu adalah tunggangan Fatimah di hari kiamat.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam terbiasa mengajarkan kepada sahabat-sahabatnya untuk bersabar atas segala sesuatu yang menimpa mereka, termasuk dalam masalah lapar sekalipun. Mereka senantiasa mengencangkan ikat pinggang. Bila tidak ada sama sekali yang dimakan, maka merekapun akan berpuasa. Itulah yang dicontohkan Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam kepada sahabat-sahabatnya.