Sabtu, 21 Maret 2009

PEMBAHARUAN DAN SINKRONISASI HUKUM KAITANNYA DENGAN HAK ATAS PANGAN (Pengantar Diskusi)

Oleh: Yunan Hilmy, S.H.,MH.


A. Pendahuluan

Indonesia telah merdeka sejak 63 tahun yang lalu, namun kedaulatan masih terus diperjuangkan. Salah satu aspek kedaulatan yang belum kunjung dicapai adalah kedaulatan pangan, indikatornya adalah pemenuhan kebutuhan dasar ‘pangan’ bagi penduduknya. Selama bertahun-tahun Indonesia harus memasok dari luar untuk menopang kebutuhan dasarnya. Di negara kita, kesulitan dalam penyeimbangan neraca pangan sudah dialami sebelum awal krisis moneter terjadi pada pertengahan tahun 1997. Bahkan, pemenuhan kebutuhan beras saja, yang pernah diatasi secara swasembada pada tahun 1986, ternyata tidak dapat dipertahankan.

Krisis pangan di negeri ini adalah sebuah ironi bagi Negara agraris yang tanahnya subur gemah ripah loh jinawi. Bila kita memroyeksikan laju pemenuhan kebutuhan pangan berkaitan dengan hilangnya lahan dan naiknya jumlah penduduk, maka terlihat bahwa kita menuju masalah pangan yang sesungguhnya. Kurangnya luas lahan yang dibutuhkan menjadi faktor penentu ketersediaan beras. Beberapa analisis mengatakan bahwa fenomena pangan di negeri ini diakibatkan dari kebijakan dan praktik privatisasi, liberalisasi dan deregulasi. Disebutkan bahwa Indonesia telah tergantung oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa, hal tersebut menjadikan Negara dan rakyat Indonesia tidak lagi mempunyai kedaulatan untuk mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Hal ini dinilai tidak sesuai dengan mandate Konstitusi: “Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Privatisasi juga berdampak pada adanya monopoli dan oligopoly (kartel) sektor pangan.

Disebutkan pula krisis pangan juga disebabkan oleh kebijakan dan praktik yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya negara terkooptasi perdagangan bebas. Disamping itu beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1 tahun 1967 tentang PMA, UU No. 4 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 18 tahun 2003 Tentang Perkebunan, dan UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka.

Kondisi tersebut, sebagaimana disebutkan pula dalam kerangka acuan kegiatan ini, menimbulkan pertanyaan tentang relevansi kebijakan pangan yang tercermin dalam produk-produk hukum. Bahan pengantar ini hanya akan sedikit memberikan gambaran pembaharuan dan sinkronisasi hukum yang dilakukan melalui Program Legislasi nasional.


B. Hak Atas Pangan menurut UUD NRI 1945

Reformasi (pembaharuan) di bidang hukum telah menghasilkan sebuah “big bang” yaitu dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 sebanyak empat kali, dari tahun 1999 hingga tahun 2002. Banyak pihak yang berpendapat bahwa tanpa adanya perubahan terhadap UUD 1945 maka tidak akan ada reformasi, karena perubahan UUD 1945 tersebut menjadi awal bagi perubahan berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara lainnya.

Reformasi konstitusi bahkan telah menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan: ”Negara Indonesia adalah negara hukum.” Di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta jaminan keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa.

Hakikat dari hukum adalah keadilan, dan dalam konteks kenegaraan, keadilan bagi masyarakat memerlukan kepastian hukum. Sementara fungsi hukum itu sendiri selain sebagai pencipta keteraturan (order), juga harus dapat memberikan perlindungan bagi rakyat untuk memperoleh keadilan. Keadilan akan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat dengan parameter terpenuhinya hak-hak dasarnya. Sebagai jaminan terhadap pemenuhan hak-hak dasar itulah kemudian sejak Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000 telah dicantumkan secara memadai hak-hak dasar sebagaimana tertuang di dalam aturan-aturan tentang Hak Asasi Manusia (yang terdiri dari 26 butir dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28 sampai 28I).
Salah satu hal yang mengesankan dari berlangsungnya reformasi konstitusi adalah perlindungan terhadap HAM menjadi lebih impresif. UUD 1945 hasil Perubahan berhasil memiliki aturan-aturan tentang HAM yang memadai.

Hak-hak dasar yang tercantum dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di antaranya: hak hidup, hak mengeluarkan pendapat, hak untuk bebas dari diskriminasi, hak memperoleh pendidikan, hak yang sama di depan hukum, hak untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinan (Pasal 28 sampai 28E). Kemudian ada pula hak-hak masyarakat yang juga dimasukkan dalam kategori hak asasi manusia, yaitu hak memperoleh informasi, hak perlindungan diri, keluarga, harta, dan martabat, hak hidup sejahtera, hak mendapat kesempatan yang sama, hak atas jaminan sosial, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang tidak berlaku surut (Pasal 28F sampai Pasal 28I).

Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945 menyatakan, antara lain, bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27, Ayat 2); bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 33, Ayat 3); bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara (Pasal 34). Pasal-pasal dalam UUD 1945 tersebut secara implisit memberikan jaminan, antara lain, bahwa setiap individu bangsa Indonesia berhak atas kecukupan pangan yang menyehatkan.

Sebagai negara hukum, sejak kelahirannya pada tahun 1945 sudah menjunjung tinggi HAM. Sikap Indonesia tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum diproklamasikannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, UUD 1945 sudah memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan HAM yang sangat penting. Hak-hak tersebut tersebut antara lain hak semua bangsa atas kemerdekaan (alinea pertama Pembukaan); hak atas kewarganegaraan (Pasal 26); persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1)); hak warga negara Indonesia atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2)); hak setiap warga negara Indonesia atas kehidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2)); hak berserikat dan berkumpul bagi setiap warga negara (Pasal 28); kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29 ayat (2)); dan hak setiap warga negara Indonesia atas pendidikan (Pasal 31 ayat (1)).

Dari perspektif hukum tata negara, norma yang terkandung dalam UUD ini merupakan sumber hukum atau rechtsidee bagi aturan yang ada di bawahnya. Konstruksi ini mempunyai makna bahwa norma-norma yang ada dalam UUD harus mengalir dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya. Maka dengan kata lain, peraturan perundang-undangan yang merupakan norma original maupun norma jabaran tidak boleh menyimpang dari nilai-nilai HAM yang dinormakan oleh UUD 1945.


C. UU Pangan dan Konvensi Ekosob (ICESCR)

Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 merupakan salah satu produk hukum yang menjadi rujukan dalam pelaksanaan pembangunan pangan di Indonesia saat ini. UU Pangan telah meletakkan dasar-dasarbagi penyediaan pangan yang aman, bermutu, bergizi, beragam dan tersedia secara cukup untuk kepentingan kesehatan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dalam implementasinya UU ini juga didukung oleh UU terkait lainnya antara lain UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, da lain sebagainya.

Sebagai sebuah regulasi yang terkait langsung dengan pembangunan pangan di tanah air, maka sangat penting untuk mengkaji kembali sejauh mana UU ini relevan dan mampu menjadi wahana untuk pemenuhan Hak atas Pangan bagi warga negara Indonesia.

Pada sisi lain, terkait dengan hal tersebut, Indonesia telah meratifikasi International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR-1966) , atau selanjutnya disebut sebagai Kovenan Ekosob) menjadi Undang-Undang No. 11 tahun 2005. Karena UU No. 11 Tahun 2005 merupakan ratifikasi dari Kovenan Eksosob dimaksud, maka sangat objektif untuk mengkaji Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 dengan menggunakan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Kovenan Ekosob berikut aturan-aturan turunannya seperti The Right to Adequate Food (Art. 11):12/05/99.E/C.12/1999/5, CESCR General Comment 12; The Limburg Principles on The Implementation of International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights dan Maastricht Guidelines on Violations of Economic, Social, and Cultural Rights.

Di dalam Pedoman Maastricht disebutkan tiga kewajiban generic yang diemban Negara c.q pemerintah dalam pemenuhan hak ekosob, yaitu: (a) menghormati. Negara harus menahan diri untuk tidak campur tangan dalam penikmatan hak ekosob, (b) melindungi. Negara harus mencegah pelanggaran hak ekosob oleh pihak ketiga; dan (c) memenuhi. Negara harus mengambil tindakan-tindakan legislative, administrative, anggaran, hokum untuk memenuhi hak-hak ekosob. Meskipun ICESCR telah diratifikasi, namun belum sepenuhnya dipersepsikan atau dimengerti sebagai hak asasi manusia, melainkan dipersepsikan lain sebagai ‘masalah pembangunan’ seperti pada kasus kematian ibu hamil dan balita akibat gizi buruk (kelaparan) di kota Makasar sekitrar Maret 2008 yang lalu. Demikian juga belum dilakukannya harmonisasi atau sinkronisasi Undang-Undang yang terkait dengan Konvensi Ekosob, termasuk UU Pangan. Terlebih lagi UU tersebut memang lahir sebelum diratifikasinya Konvensi tersebut.

Beberapa kewajiban Negara yang harus dilakukan dengan diratifikasinya Kovenan Ekosob sebagai dasar perlunya sinkronisasi terhadap UU Pangan atau UU yang terkait antara lain adalah:
1. Mengambil langkah-langkah ekonomis maupun teknis, dengan memanfaatkan semaksimal mungkin sumber daya untuk merealisasikan hak atas pangan secara progresif, termasuk proses-proses legislasi. (Article 2.1)
2. Menjamin bahwa hak-hak yang dinyatakan dalam Kovenan Ekosob akan dapat diperoleh tanpa diskriminasi (ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, latar belakang politik dan status lainnya) (Article 2.2)
3. Menentukan batasan untuk menjamin pemenuhan hak atas pangan bagi warga negara asing di Indonesia (Article 2.3).
4. Menjamin hak atas pangan yang sama bagi laki-laki dan perempuan (Article 3).
5. Mengakui hak setiap orang untuk memperoleh pekerjaan dan melakukan langkah-langkah strategi untuk melindungi hak ini (Article 6.1). Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 tidak menyinggung mengenai hak memperoleh pekerjaan sebagai bagian dasar untuk memenuhi hak atas pangan.
6. Melakukan tindakan berupa pelatihan dan penyuluhan teknis, membuat kebijakan dan teknik untuk menjamin realisasi hak-hak atas pangan (Article 6) serta kondisi kerja yang adil dan layak (Article 7). Kritik terhadap Undang-Undang Pangan No. Tahun 1996 di sini bahwa Negara mengidentifikasikan perannya sebagai membina dan mendorong keikutsertaan masyarakat terkait dengan pengembangan sumber daya manusia pangan. Peran yang diperlukan dari Negara adalah bertanggung jawab dan memberikan jaminan.
7. Mengakui hak setiap orang atas jaminan sosial (Article 9). Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 tidak mengatur sedikit pun mengenai hal ini. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H Ayat 3 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.”
8. Mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak (kecukupan pangan, sandang, dan perumahan) (Article 11.1). terkait dengan kebijakan pangan maka implikasi dari“adalah mewajibkan negara untuk mengakui hak seiap orang atas standar pangan yang layak. Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 memuat banyak pasal yang terkait dengan standarisasi pangan, namun peran regulator ini dapat dikategorikan sebagai salah satu pelaksanaan obligation to protect bila klausul-klausul tersebut bukan hanya menyatakan bahwa negara hanya menetapkan, membina, mengatur, dan mengawasi akan tetapi perlu diubah penjadi klausul yang lebih menegaskan bahwa Negara bertanggung jawab memastikan terpenuhinya standar-standar kualitas pangan guna menjamin terpenuhinya standar pangan yang layak bagi setiap orang.
9. Mengakui hak setiap orang untuk bebas dari kelaparan serta melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya kelaparan (Article 11.2), yang meliputi: tindakan untuk meningkatkan produksi, konservasi, dan distribusi pangan; melakukan diseminasi pengetahuan mengenai prinsip-prinsip nutrisi; serta melakukan reforma agraria. Konsideran a Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 menyatakan bahwa pangan adalah hak asasi. Pengakuan mengenai pangan adalah hak asasi tidak berarti apa-apa tanpa disertai dengan pernyataan eksplisit mengenai tanggung jawab Negara untuk mengakui hak setiap orang untuk bebas dari kelaparan.

Namun dalam pendangan beberapa ahli, implementasi Kovenan Ekosob tersebut banyak tergantung kepada kondisi perekonomian dan pembangunan suatu Negara. Kelemahan lain sebagaimana dikemukakan oleh Malanczuk bahwa Kovenan ini hanya mengenal sistem pelaporan dan dirumuskan secara tidak mengikat. Agar HAM intrernasional dapat menjadi efektif khususnya bagi individu maka peran Negara untuk memberikan hak-hak ini dalam bentuk peratura perundang-undangan menjadi sangat relevan.


D. Pembaharuan Hukum dalam perspektif Prolegnas

Pembukaan UUD NRI 1945 yang menyebutkan “Pemerintah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa” dan tercermin dalam pasal-pasal yang terkait HAM menunjukkan pilihan para pendiri bangsa untuk memilih dan membentuk negara kesejahteraan (welfare state). Dalam konsep welfare state, hukum merupakan alat untuk meraih tujuan “kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat”. Oleh karena itu hukum ikut turun tangan untuk mengatur penyelenggaraan berbagai upaya kesejahteraan, seperti pendidikan, kesehatan, papan, dan kebutuhan publik lainnya.

Ini merupakan koreksi terhadap bekerjanya hukum liberal yang memegang semboyan ‘laissez fair laissez passez’ (biarkan semua berjalan sendiri secara bebas), dimana hukum bertugas hanya agar individu-individu di masyarakat berinteraksi secara bebas tanpa ada intervensi oleh siapapun termasuk negara. Oleh karena itu hukum bukan rasionalitas di atas segala-galanya tapi keadilan dan kebahagiaan di atas segala-galanya. Dalam pandangan ini para penyelenggara hukum akan merasa gelisah apabila hukum belum bisa membuat rakyat bahagia. Inilah yang disebut penyelenggaraan hukum yang progresif.

Oleh karenanya, untuk lebih mendorong berperannya hukum di dalam penegakan hak-hak dasar rakyat, Pemerintah harus secara aktif melahirkan peraturan perundang-undangan yang “pro rakyat” dan tegas dalam pengimplementasiannya. Untuk itu hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibentuk sedikitnya memenuhi tiga kualitas: stabilitas, kepastian dan adil. Pertama, hukum harus menciptakan stabilitas dengan mengakomodir atau menyeimbangkan kepentingan yang saling bersaing di lingkungan masyarakat. Kedua, menciptakan kepastian, sehingga setiap orang dapat memperkirakan akibat dari langkah-langkah atau perbuatan yang diambilnya. Dan ketiga, hukum harus menciptakan rasa adil dalam bentuk persamaan di depan hukum, perlakuan yang sama dan adanya standar yang tertentu. Untuk merealisasikan hal ini, telah ditetapkan secara bersama oleh DPR bersama dengan Pemerintah, Program Legislasi Nasional yang berkaitan dengan jaminan hak-hak dasar rakyat, baik yang tertuang dalam daftar Program RUU Tahun 2005-2009 maupun yang telah dan sedang pembahasannya sebagai prioritas tahunan.

Agenda Legislasi

Untuk pertama kalinya dalam sejarah perundang undangan Indonesia, Prolegnas Jangka Menengah ditetapkan pada tanggal I Februari 2005 dalam Keputusan DPR RI No. O1/DPR RI/III/2004 2005 tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 2005 2009 . Inti dari keputusan tersebut adalah menetapkan sebanyak 284 Program Legislasi Nasional untuk digarap selama lima tahun (Prolegnas Jangka menengah).

Dilihat dari dimensinya, dari 284 RUU tersebut terbagi dalam: 170 RUU baru (59.85%), 90 RUU perubahan/pengganti, termasuk UU warisan kolonial (31.69%), 24 RUU ratifikasi (8.45%). Sedangkan dilihat dari bidang kemenkoan: Bidang Polhukam lk. 159 RUU (55.98%); Bidang Perekonomian: 80 RUU (28.16); dan Bidang Kesra 45 RUU (15.84%).
Prolegnas mempunyai dua dimensi, yaitu:
 Sebagai instrumen/mekanisme perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis; dan
 Sebagai arah politik hukum nasional atau potret rencana materi hukum dalam kurun waktu tertentu untuk mencapai tujuan negara yang sesuai dengan Pancasila, UUD NRI 1945.

Beberapa Program RUU yang terkait dengan Hak Atas Pangan dan Kovenan Ekosob antara lain adalah:
1. RUU Tentang Pengambilalihan Lahan Untuk Kepentingan Umum (2008)
2. RUU Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (2005,2006,2008)
3. RUU Tentang Perlindungan Harga Komoditas Pertanian dan Pangan (Belum diprioritaskan)
4. RUU Tentang Perubahan UU No. 56 /Prp/ Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (2008)
5. RUU Tentang Pengawasan Obat Dan Makanan (Belum diprioritaskan)
6. RUU Tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (2008: menjadi UU No. 11 Tahun 2009)
7. RUU Tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social, And Cultural Rights ( ICESCR) (UU 11/2005)
8. RUU Tentang Perlindungan Petani (Belum diprioritaskan)
9. RUU Tentang Diversifikasi Pangan (Belum diprioritaskan)
10. RUU Tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam (2006,2007,2008,2009)
11. RUU Tentang Keamanan Hayati Dan Pangan (2008)
12. RUU Tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (2008, 2009)
13. RUU Tentang Konservasi Tanah Dan Air (2008, 2009)
14. RUU Terubahan Atas UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air (Belum diprioritaskan)
15. RUU Tentang Perubahan Atas UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (2005,2006,2008)
16. RUU Tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan (2005,2006,2008, 2009)

Sedangkan RUU yang sedang diprioritaskan pembahasannya pada tahun 2008 terkait dengan Hak atas Pangan adalah:
Di bidang pertanahan, telah diprioritaskan 9 (Sembilan) RUU berkaitan dengan reformasi agraria, yaitu:
1. RUU tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam (menjadi prioritas kembali di tahun 2009)
2. RUU tentang Penyempurnaan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya. menjadi prioritas kembali di tahun 2009
3. RUU tentang Perubahan Atas UU No. 56/Prp/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Pertanian
4. RUU tentang Keamanan Hayati dan Pangan
5. RUU tentang Konservasi Tanah dan Air
6. RUU tentang Perubahan Atas UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
7. RUU tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
8. RUU tentang Penggunaan Lahan untuk Pembangunan
9. RUU tentang Reformasi Agraria (Perubahan UU No. 5 tahun 1960).

RUU di bidang lain:
10. RUU tentang Jaminan Produk Halal
11. RUU tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
12. RUU tentang Kesehatan (Pengganti UU No 23 tahun 1992).
13. RUU tentang Lahan Abadi Pertanian.

Sebagian terbesar dari Program RUU ini belum dapat diselesesaikan menjadi Undang-Undang. Sebagian masih dalam pembahasan dan sebagian yang lain maih dalam penyusunan draft. Melihat gambaran tersebut nampaknya pembentukan RUU terkait dengan hak atas pangan tidak dapat berjalan dengan yang diharapkan. Dari evaluasi sementara dari tahun 2005 s.d 2008 RUU yang berhasil diundangkan lebih banyak RUU di bidang polhukam.


E. Penutup

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia telah mempunyai konstitusi yang mengatur secra memadai tentang hak-hak dasar termasuk di dalamnya hak atas pangan. Demikian juga peraturan perundang-undangan tingkat pelaksanaan berupa Undang-Undang dan peratura di bawahnya. Indonesia juga telah mempunyai UU Pangan dan telah meratifikasi Kovenan Ekosob.

Dalam praktik ditemui masih lemahnya implementasi dari Kovenan Ekosob dan belum sinkron atau harmonis dengan peraturan perundang-undangan nasional yang terkait dengan Hak Atas Pangan termasuk UU Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan.
Pembeharuan hukum melalui Program Legislasi Nasional sudah merangkum adanya program RUU yang terkait dengan hak-hak atas pangan namun belum efektif dan belum sepenuhnya didasarkan atas penyusunan yang terencana dan sistematis dan mendasarkan pada ketentuan-ketentuan internasional yang telah diratifikasi.

Oleh karena itu perlu adanya pembaharuan hukum di bidang Pangan melalui Prolegnas yang disusun secara komprehensif, terpadu dan memperhatikan aspek HAM, dan ketentuan lain baik perundangan nasional maupun ketentuan internasional yang berkembang.

PERAN DAN FUNGSI PANITIA LEGISLASI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM MELAKUKAN EVALUASI TERHADAP PERATURAN DAERAH




Yunan Hilmy, S.H.,MH.


I. PENDAHULUAN

Kondisi obyektif pelaksanaan program pembangunan nasional di bidang hukum, khususnya pada aspek materi hukum atau peraturan perundang-undangan hingga kini, masih saja ditemukan peraturan perundang-undangan yang dianggap “bermasalah“, termasuk diantaranya karena substansinya yang dianggap masih kontroversial, rancu, saling tumpang tindih dan tidak konsisten, baik secara vertikal maupun horizontal, dan belum menunjukkan komitmen dan karakter yang responsif terhadap masalah perlindungan hak asasi manusia, masyarakat lemah dan marjinal, nilai keadilan jender, serta proses pembentukannya yang kurang aspiratif dan partisipatif.

Kondisi tersebut di atas terrekam secara jelas di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasiona (RPJM) 2004-2009 Bidang Hukum. Disebutkan bahwa Peraturan perundang-undangan yang ada masih banyak yang tumpang tindih, inkonsisten dan bertentangan antara peraturan yang sederajat satu dengan lainnya, antara peraturan tingkat pusat dan daerah, dan antara peraturan yang lebih rendah dengan peraturan di atasnya. Inventarisasi yang dilakukan oleh Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah menemukan hanya 14,8 persen, dari sebanyak 709 perda yang diteliti, secara umum tidak bermasalah. Sisanya, sebesar 85,2 persen perda yang dibuat oleh 134 daerah tingkat II merupakan perda-perda yang bermasalah. Masalah terbesar pada perda-perda bermasalah tersebut antara lain terkait dengan prosedur, standar waktu, biaya, tarif, dan lainnya dengan persentase sebesar 22,7 persen, dan permasalahan acuan yuridis yang tidak disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan tingkat pusat dengan persentase sebesar 15,7 persen.

Dari sisi pengawasan dan evaluasi beberapa hari yang lalu bahkan diketahui sedikitnya ada 1.366 peraturan daerah tentang pajak dan retribusi tidak dilaporkan kepada Departemen Keuangan. Hal itu disebabkan antara lain karena ketidaktahuan daerah bahwa ada kewajiban untuk menyerahkan kepada pemerintah pusat.
Permasalahan tersebut di atas, antara lain, disebabkan oleh proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengabaikan pentingnya pendalaman materi, dan sinkronisasi serta harmonisasinya dengan peraturan perundang-undangan lain, serta kurang melakukan diseminasi peraturan perundang-undangan untuk membuka akses dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang. Hal tersebut juga menunjukkan belum berjalannya sistem pengawasan dan evaluasi terhadap peraturan daerah selama ini.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik DPRD Provinsi maupun Kabipaten/Kota, sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah memiliki peran yang strategis. DPRD dalam melaksanakan fungsi legislasi, kini telah menjadi fenomena di banyak daerah, dibantu oleh sebuah alat kelengkapan DPRD yang disebut dengan Panitia Legislasi (Panleg). Meskipun belum semua DPRD memilikinya karena memang belum terdapat dasar hukum yang jelas mengenai pembentukannya dan yang ada pun belum menunjukkan keseragaman dalam status, tugas dan fungsinya, namun kehadirannya sudah sangat diperlukan.
Kehadiran Panleg, seperti halnya yang terdapat di DPRD Provinsi Jawa Timur dan daerah lain, sebagai alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi paling tidak diharapakan dapat membantu dalam upaya mengatasi permasalahan peraturan perundang-undangan sebagaimana disinggung di atas khususnya dalam rangka evaluasi terhadap peraturan daerah. Pertanyaanya adalah sejauh mana Panleg DPRD dapat melakukan fungsi evaluasi terhadap Perda? Makalah ini akan membahasnya berdasarkan aturan yang ada dan kecenderungan praktik dari Panleg DPRD yang telah ada pula.


II. KEDUDUKAN DAN FUNGSI PANITIA LEGISLASI DPRD

Kedudukan DPRD
Membicarakan “peran” sebuah institusi tentu tidak bisa terlepas dari pembicaraan bagaimana kedudukan dari institusi itu sendiri berdasarkan ketentuan aturan yang membentuknya. Kedudukan Panleg DPRD, dengan demikian tentu juga harus sesuai dengan kedudukan DPRD-nya.

Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan, Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Undang-Undang Susduk). Dalam Pasal 60 Undang-Undang Susduk dinyatakan bahwa DPRD Provinsi merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan daerah provinsi. Selanjutnya Pasal 61 menyatakan, DPRD Provinsi mempunyai fungsi (a) legislasi, (b) anggaran, dan (c) pengawasan. Dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a ditegaskan bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk Peraturan Daerah yang dibahas dengan Gubernur untuk mendapat persetujuan bersama.

Kedudukan, tugas, dan fungsi tersebut juga tidak berbeda dengan kedudukan, tugas, dan fungsi DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam Pasal 76, Pasal 77, dan Pasal 78 ayat (1) huruf a. Selain diatur dalam Undang-Undang Susduk ketentuan mengenai DPRD diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Mengenai kedudukan dan fungsi, tugas dan wewenang, hak dan kewajiban, alat kelengkapan, larangan dan pemberhentian serta pergantian antar waktu anggota DPRD diatur secara jelas dalam Pasal 40 s/d Pasal 55 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pelaksanaan fungsi legislasi DPRD dipertegas pula dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Gubernur, atau Bupati/Walikota, masing-masing sebagai kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, atau Kota.


Kedudukan dan Fungsi Panleg DPRD


Untuk mendukung fungsi, tugas, dan wewenang DPRD dibutuhkan alat kelengkapan. Pasal 98 Undang-Undang Susduk menyatakan alat kelengkapan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota terdiri atas: (a) Pimpinan; (b) Panitia Musyawarah; (c) Komisi; (d) Badan kehormatan; (e) Panitia Anggaran; dan (f) Alat kelengkapan lain yang diperlukan. Dalam penjelasan Pasal 98 ayat (4) huruf f dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan alat kelengkapan lain yang diperlukan misalnya Panitia Legislasi.
Sebagai pelaksana Undang-Undang Susduk, Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2005. Dalam Pasal 54 Peraturan Pemerintah ini pada ayat (1) dinyatakan Pimpinan DPRD dapat membentuk alat kelengkapan lain yang diperlukan berupa Panitia Khusus dengan Keputusan DPRD, atas usul dan pendapat anggota DPRD setelah mendengar pertimbangan Panitia Musyawarah dengan persetujuan Rapat Paripurna. Pada ayat (2) dinyatakan Panitia Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tidak tetap (cetak miring-pen).
Mengenai alat kelengkapan DPRD lainnya ini, Pasal 141 UU No. 32 Tahun 2004 menyebutnya alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi, sama dengan penyebutan yang terdapat dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004. Berdasarkan ketentuan Pasal 141 ini alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi ini bertugas menangani persiapan Rancangan Peraturan Daerah.

Di beberapa Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2005, Panitia Legislasi telah diatur sebagai alat kelengkapan DPRD. Namun karena bersifat tidak tetap dan belum menemukan pola yang baku, pelaksanaan tugasnya belum didukung oleh pendanaan yang cukup seperti alat kelengkapan DPRD lainnya.
Kedudukan dan tugas Panitia Legislasi DPRD yang nampaknya lebih jelas adalah kedudukan dan tugas Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK). Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh disebutkan:

Pasal 30
(1) Alat kelengkapan DPRA/DPRK terdiri atas:
a. pimpinan;
b. komisi;
c. panitia musyawarah;
d. panitia anggaran;
e. badan kehormatan;
f. panitia legislasi; dan
g. alat kelengkapan lain yang diperlukan.
(2) Pembentukan, susunan, tugas, dan wewenang alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRA/DPRK.

Pasal 34
(1) Panitia Legislasi berkedudukan sebagai pusat perencanaan pembentukan qanun.
(2) Panitia Legislasi pada DPRA dibentuk oleh DPRA dan Panitia Legislasi pada DPRK dibentuk oleh DPRK.
(3) Panitia Legislasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat tetap.

Pasal 35
Tugas Panitia Legislasi sebagai pusat perencanaan pembentukan qanun adalah:
a. menyusun program legislasi daerah yang memuat daftar urutan rancangan qanun untuk 1 (satu) masa keanggotaan dan prioritas setiap tahun anggaran, yang selanjutnya dilaporkan dalam Rapat Paripurna untuk ditetapkan dengan keputusan DPRA/DPRK;
b. menyiapkan rancangan qanun usul inisiatif DPRA/DPRK berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan;
c. melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan qanun yang diajukan anggota, komisi, dan gabungan komisi sebelum rancangan qanun tersebut disampaikan kepada pimpinan dewan;
d. memberikan pertimbangan terhadap pengajuan rancangan qanun yang diajukan oleh anggota, komisi, dan gabungan komisi di luar rancangan qanun yang terdaftar dalam program legislasi daerah atau prioritas rancangan qanun tahun berjalan;
e. melakukan pembahasan dan perubahan/penyempurnaan rancangan qanun yang secara khusus ditugaskan Panitia Musyawarah;
f. melakukan penyebarluasan dan mencari masukan untuk rancangan qanun yang sedang dan/atau yang akan dibahas dan sosialisasi rancangan qanun yang telah disahkan;
g. mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap materi qanun melalui koordinasi dengan komisi; (cetak tebal-pen).
h. menerima masukan dari masyarakat baik tertulis maupun lisan mengenai rancangan qanun;
i. memberikan pertimbangan terhadap rancangan qanun yang sedang dibahas oleh Gubernur dan DPRA serta bupati/walikota dan DPRK; dan
j. menginventarisasi masalah hukum dan peraturan perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan DPRA/DPRK untuk dipergunakan sebagai bahan oleh Panitia Legislasi pada masa keanggotaan berikutnya.

Berbeda dengan kedudukan dan tugas Panleg DPRD di Aceh, berdasarkan Tata Tertib DPRD Provinsi Jawa Timur, Pasal 59 ayat (2), dinyatakanbahwa Panitia Legislasi adalah alat kelengkapan DPRD yang bersifat tidak tetap. Berdasarkan Pasal 61 Peraturan Tatib DPRD Provinsi jatim, Panleg memiliki tugas:
a. mengusulkan inisiatif DPRD dalam membuat Rancangan Peraturan Daerah;
b. meneliti dan mengevaluasi materi inisiatif DPRD dalam mengajukan Ranperda;
c. usulan inisiatif sebagaimana huruf a dengan mengkoordinasikan pada pengusul, komisi-komisi dan/atau dari fraksi;
d. meneliti dan mengevaluasi Peraturan Daerah yang sedang berlaku untuk dikaji efektifitasnya dan kesesuaiannya dengan undang-undang yang berlaku dan/atau permintaan dari Komisi-Komisi;
e. meneliti dan menguji kelayakan Rancangan Peraturan Daerah yang diajukan oleh Pemerintah Daerah sebelum memasuki pembahasan oleh Komisi-Komisi dan atau oleh Panitia Khusus;
f. melakukan penyelarasan akhir sebelum memasuki paripurna pandangan akhir fraksi dan penetapan; dan
g. menyampaikan rekomendasi dari hasil pelaksanaan tugas kepada Pimpinan Dewan.

Bila memperbandingan tugas atau fungsi Panleg di Prov. NAD dengan Prov. Jawa Timur, terlihat adanya kesamaan tugas khususnya yaitu mengevaluasi Rancangan Perda inisiatif DPRD dan Perda yang sedang berlaku untuk dikaji efektivitasnya dan kesesuaiannya dengan Undang-Undang yang berlaku.
Selain tugas/fungsi evaluasi tersebut, pada Temu Konsultasi Panitia legislasi DPRD Propinsi, Kabupaten/Kota Wilayah Indonesia Barat yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, tanggal 27 s.d 29 Maret 2007 direkomendasikan antara lain bahwa tugas dan kewenangan Panleg sekurang-kurangnya meliputi:
a. menyusun Program Legislasi Daerah yang berasal dari usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
b. mengkoordinasikan penyusunan Prolegda yang berasal dari DPRD dan Pemerintah Daerah.
c. menetapkan prioritas pembentukan Peraturan Daerah berdasarkan Prolegda.
d. mengkaji Rancangan Peraturan Daerah usul inisiatif DPRD.
e. melakukan harmonisasi dan sinkronisasi setiap Rancangan Peraturan Daerah.
f. melakukan sosialisasi dan mencari masukan untuk Rancangan Peraturan Daerah yang sedang dan/atau yang akan dibahas.
g. menerima masukan dari masyarakat (akademisi dan praktisi) mengenai Rancangan Peraturan Daerah.



III. EVALUASI PERDA

Istilah “evaluasi” pada frasa evaluasi perda sebenarnya telah mempunyai arti yuridis tersendiri. Evaluasi perda merupakan bagian dari sistem pengawasan terhadap sebuah Perda yang dibuat oleh Daerah oleh Pemerintah (Pusat).
Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dikenal adanya pengawasan/evaluasi preventif; dan pengawasan/evaluasi represif. Evaluasi Represif yaitu Perda yang sudah diundangkan dalam Lembaran Daerah dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari harus disampaikan kepada Pemerintah Pusat untuk dinilai apakah bertentangan tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau kepentingan umum. Ketentuan mengenai evaluasi tersebut tercantum di dalam Pasal 145 UU No. 32 Tahun 2004:

Pasal 145
(1) Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.
(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
(3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud.
(5) Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
(6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
(7) Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda dimaksud dinyatakan berlaku.

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 145 ayat (5) dan ayat (6) tersebut di atas bukanlah upaya pengujian (judicial review) atas perda melainkan pengujian (judicial review) atasperaturan presiden yang membatalkan perda. Hal ini berarti juga Perda bukan merupakan obyek pengujian Mahkamah Agung (Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945). Karena UU 32/2004 lahirnya lebih belakangan daripada UU No. 10 Tahun 2004 (khususnya pasal 7) maka berlaku asas lex posteriore derogate legi priore” .
Sedangkan Evaluasi preventif yaitu penyampaian Rancangan Perda yang berisi Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pajak dan retribusi daerah kepada Menteri Dalam Negeri, sedangkan Raperda Kabupaten/Kota diajukan kepada Gubernur/Kepala Pemerintah Daerah Provinsi. Pengajuan berjenjang ini dimaksudkan untuk dinilai oleh unit pemerintahan atasan sesuai dengan ketentuan Pasal 185 s.d 188 UU No. 32 Tahun 2004.

Pasal 185 UU 32 tahun 2004 mengatur sebagai berikut:
(1) Rancangan Perda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.
(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud.
(3) Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Gubernur.
(4) Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi.
(5) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD, dan Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan Gubernur, Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.


Adanya dua jenis pengawasan yang dianut oleh UU No. 32 Tahun 2004 tersebut adalah koreksi terhadap evaluasi yang dianut oleh dua Undang-Undang sebelumnya, yaitu UU No. 5 Tahun 74 tentang Pemerintahan Di Daerah dan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 5 Tahun 1974 menganut penawasan preventif. Karena praktik desentralisasi menurut UU No. 5 tahun 1974 pada praktiknya sarat dengan nuansa sentralisasi yang cenderung intervensi kepada Daerah, maka pengawasan preventif dihapuskan.

Oleh UU No. 22 Tahun 1999 diganti dengan evaluasi represif,yaitu bahwa Perda yang bersifat pengaturan (regeling) yang sudah diundangkan dalam Lembaran Daerah, selambat-lambatnya 15 hari harus disampaikan kepada Pusat untuk dinilai apakah bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau kepentingan umum, atau Perda lainnya (Pasal 113 s.d Pasal 115 UU 22/1999). Namun, pada masa selanjutnya karena UU No. 22 Tahun 1999 dianggaap kebablasan, lebih federalis daripada Negara federal) maka UU tersebut digantikan dengan UU No. 32 tahun 2004.

Penerapan mekanisme tersbut dikaitkan dengan dasar pemikiran bahwa Indonesia adalah Negara kesatuan (unitaruy state), sehingga dinilai rasional apabila Pemerintah pusat sebagai pemerintahan atasan diberi kewenangan untuk mengendalikan sistem hukum di lingkungan Pemerintah daerah, sepanjang untuk kepentingan nasional yang obyektif. Justru tidak rasional apabila di Negara Republik Indonesia yang Negara kesatuan, dianggap tidak berwenang melakukan tindakan untuk mengatur dan mngendalikan pembentukan peraturan daerah yang tidak sejalan dengan maksud diadakannya mekanisme pembentukan peraturan daerah itu sendiri oleh pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

IV. PERAN DAN FUNGSI PANLEG DALAM EVALUASI PERDA

Melihat penjelasan mengenai evaluasi perda seperti tersebut di atas, kiranya sulit bagi Panleg untuk melakukan evaluasi Perda dalam arti yuridis karena Panleg sebagai alat kelengkapan DPRD tidak mempunyai dan tidak menjangkau dengan kewenangan tersebut.

Kewenangan untuk melakukan evaluasi sebagai kontrol oleh Pemerintah pusat (atasan) antara lain adalah kontrol atas norma hukum yang ditetapkan oleh pemerintahan bawahan melalui apa yang disebutmekanisme control norma umum (general norm control), ini yang biasa disebut dengan sistem “abstract review” yang dapat dilakukan oleh lembaga eksekutif, lembaga legislatif, ataupun lembaga pengadilan. Jika “abstract review” itu dilakukan oleh lembaga eksekutif, maka mekanisme demikian disebut “executive review”. Jika “abstract review” itu dilakukan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah yang menetapkan peratuan daerah itu sendiri, maka disebut “legislative review”. Jika pengujian dilakukan oleh pengadilan, maka hal itu biasa disebut “judicial review”.

Disamping abstract review, mekanisme control norma juga dapat dilakukan melalui prosedur “abstract preview”, yaitu control yang dilakukan sebelum norma hukum yang bersangkutan mengikat umum. Misalnya, setelah Rancangan Perda disahkan, sebelum diundangkan sebagaimana mestinya, Pemerintah atasan diberi kewenanganuntuk menguji, menilai atau bahkan menolak pengesahan peraturan Pemerintah bawahan. Mekanisme demikian disebut “executive abstrak preview”. Kewenangan preview seperti inilah, menurut Prof Jimly Ash-Shiddiqie yang sebaiknya diberikan kepada Kepala Pemerintah atasan. Bila suatu perda yang dibentuk olehlembaga eksekutif dan legislatif yang sama-sama dipilih langsung oleh Rakyat melalui pemilu, yang sudah mengikat untuk umum maka sebaiknya yang mengevaluasi/menguji adalah lembaga peradilan.
Lalu peran peran evaluasi yang bagaimana yang dapat dilakukan oleh Panleg DPRD untuk mengevaluasi Perda dalam rangka melaksanakan fungsi legislasi DPR?


Peran Panleg DPRD

Sebagaimana tugas dan kewenangan yang telah diberikan oleh UU Pemerintahan Aceh maupun Tata Tertib DPRD Provinsi Jawa Timur, maka Panleg DPRD tetap dapat melakukan evaluasi terhadap perda. Evaluasi yang dapat dilakukan adalah evaluasi dari aspek semi-ilmiah yaitu evaluasi terhadap Raperda yang merupakan usul prakarsa DPRD (preview) dan evaluasi terhadap Perda yang telah dan/atau sedang berlaku.

Evaluasi yang dilakukan oleh Panleg DPRD terhadap Rancangan Perda usul prakarsa DPRD adalah dimaksudkan untuk mempersiapkan lebih matang, sistematis dan terkoordinasi. Sehingga pada saat memasuki tahap pembahasan tidak lagi mengalami kebuntuan atau mengurusi hal-hal yang bersifat redaksional. Sedangkan evaluasi yang dilakukan terhadap Perda yang telah atau sedang berlaku adalah untuk melihat tingkat efektivitas keberlakuan sebuah perda di dalam masyarakat.
Komponen yang dikaji di dalam review sebagaimana dimaksud di atas adalah (a) substansi atau materi peraturannya; (b) aparatur pelaksananya; dan (c) sarana prasarananya.

Kewenangan melakukan mengevaluasi secara materiil terhadap Perda sebagaimana yang sekarang berlaku masih mengandung banyak kelemahan. Oleh karena itulah evaluasi perda yang dilakukan oleh Panleg DPRD tersebut dapat menjembatani kelemahan evaluasi juridis atau materiil. Kegiatan evalausi ini bermanfaat bagi terwujudnya Perda yang tidak bermasalah sejak awal diundangkannya, namun menjadi peraturan yang efektif dan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Kegiatan evalasi yang dilakukan oleh Panleg DPR tersebut juga dapat digunakan sebagai bahan perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan. Karena disamping meninjau substansi juga berusaha menganalisis efektivitas perda dalam pelaksanaannya, termasuk kelembagaan dan aparatur pelaksananya. Melalui kegiatan ini dapat diketahui kelemahan yang ada dalam peraturan yang dievaluasi atau dikaji dan bagaimana persepsi masyarakat terhadap peraturan itu.

Permasalahan
Evaluasi semi ilmiah tersebut bukan tidak ada persoalannya. Karena bersifat semi-ilmiah dan tidak ada sanksinya maka tidak mengikat pihak-pihak dan hasil efektifitas kegunaan hasil evaluasi ini tergantung kepada semangat para pelaku, baik kalangan dewan, Pemerintah daerah maupun masyarakat itu sendiri.
Kendala lain bisa datang dari instansi pemrakarsa yang tidak setuju atau keberatan karena menganggap perda yang diprakarsainya merupakan “milik” atau domainnya, sehingga merasa paling berhak untuk mempertahankan berlakunya.

V. PENUTUP

Demikian beberapa hal yang dapat kami sampaikan berkaitan dengan Peran dan Funsi Panleg DPRD dalam melakukan evaluasi terhadap Peraturan Daerah. Semoga bermanfaat.

__________________

Makalah disampaikan pada Seminar tentang “Optimalisasi peran dan fungsi Panitia Legislasi Dalam Pelaksanaan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”, diselenggarakan oleh DPRD Provinsi Jawa Timur bekerjasama dengan Lembaga Pengembangan Sumber Daya Otonomi Daerah (Lapesda) pada tanggal 25 Mei 2007 di Hotel Manhattan, Jakarta.