Sabtu, 21 Maret 2009

PEMBAHARUAN DAN SINKRONISASI HUKUM KAITANNYA DENGAN HAK ATAS PANGAN (Pengantar Diskusi)

Oleh: Yunan Hilmy, S.H.,MH.


A. Pendahuluan

Indonesia telah merdeka sejak 63 tahun yang lalu, namun kedaulatan masih terus diperjuangkan. Salah satu aspek kedaulatan yang belum kunjung dicapai adalah kedaulatan pangan, indikatornya adalah pemenuhan kebutuhan dasar ‘pangan’ bagi penduduknya. Selama bertahun-tahun Indonesia harus memasok dari luar untuk menopang kebutuhan dasarnya. Di negara kita, kesulitan dalam penyeimbangan neraca pangan sudah dialami sebelum awal krisis moneter terjadi pada pertengahan tahun 1997. Bahkan, pemenuhan kebutuhan beras saja, yang pernah diatasi secara swasembada pada tahun 1986, ternyata tidak dapat dipertahankan.

Krisis pangan di negeri ini adalah sebuah ironi bagi Negara agraris yang tanahnya subur gemah ripah loh jinawi. Bila kita memroyeksikan laju pemenuhan kebutuhan pangan berkaitan dengan hilangnya lahan dan naiknya jumlah penduduk, maka terlihat bahwa kita menuju masalah pangan yang sesungguhnya. Kurangnya luas lahan yang dibutuhkan menjadi faktor penentu ketersediaan beras. Beberapa analisis mengatakan bahwa fenomena pangan di negeri ini diakibatkan dari kebijakan dan praktik privatisasi, liberalisasi dan deregulasi. Disebutkan bahwa Indonesia telah tergantung oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa, hal tersebut menjadikan Negara dan rakyat Indonesia tidak lagi mempunyai kedaulatan untuk mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Hal ini dinilai tidak sesuai dengan mandate Konstitusi: “Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Privatisasi juga berdampak pada adanya monopoli dan oligopoly (kartel) sektor pangan.

Disebutkan pula krisis pangan juga disebabkan oleh kebijakan dan praktik yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya negara terkooptasi perdagangan bebas. Disamping itu beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1 tahun 1967 tentang PMA, UU No. 4 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 18 tahun 2003 Tentang Perkebunan, dan UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka.

Kondisi tersebut, sebagaimana disebutkan pula dalam kerangka acuan kegiatan ini, menimbulkan pertanyaan tentang relevansi kebijakan pangan yang tercermin dalam produk-produk hukum. Bahan pengantar ini hanya akan sedikit memberikan gambaran pembaharuan dan sinkronisasi hukum yang dilakukan melalui Program Legislasi nasional.


B. Hak Atas Pangan menurut UUD NRI 1945

Reformasi (pembaharuan) di bidang hukum telah menghasilkan sebuah “big bang” yaitu dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 sebanyak empat kali, dari tahun 1999 hingga tahun 2002. Banyak pihak yang berpendapat bahwa tanpa adanya perubahan terhadap UUD 1945 maka tidak akan ada reformasi, karena perubahan UUD 1945 tersebut menjadi awal bagi perubahan berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara lainnya.

Reformasi konstitusi bahkan telah menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan: ”Negara Indonesia adalah negara hukum.” Di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta jaminan keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa.

Hakikat dari hukum adalah keadilan, dan dalam konteks kenegaraan, keadilan bagi masyarakat memerlukan kepastian hukum. Sementara fungsi hukum itu sendiri selain sebagai pencipta keteraturan (order), juga harus dapat memberikan perlindungan bagi rakyat untuk memperoleh keadilan. Keadilan akan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat dengan parameter terpenuhinya hak-hak dasarnya. Sebagai jaminan terhadap pemenuhan hak-hak dasar itulah kemudian sejak Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000 telah dicantumkan secara memadai hak-hak dasar sebagaimana tertuang di dalam aturan-aturan tentang Hak Asasi Manusia (yang terdiri dari 26 butir dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28 sampai 28I).
Salah satu hal yang mengesankan dari berlangsungnya reformasi konstitusi adalah perlindungan terhadap HAM menjadi lebih impresif. UUD 1945 hasil Perubahan berhasil memiliki aturan-aturan tentang HAM yang memadai.

Hak-hak dasar yang tercantum dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di antaranya: hak hidup, hak mengeluarkan pendapat, hak untuk bebas dari diskriminasi, hak memperoleh pendidikan, hak yang sama di depan hukum, hak untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinan (Pasal 28 sampai 28E). Kemudian ada pula hak-hak masyarakat yang juga dimasukkan dalam kategori hak asasi manusia, yaitu hak memperoleh informasi, hak perlindungan diri, keluarga, harta, dan martabat, hak hidup sejahtera, hak mendapat kesempatan yang sama, hak atas jaminan sosial, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang tidak berlaku surut (Pasal 28F sampai Pasal 28I).

Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945 menyatakan, antara lain, bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27, Ayat 2); bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 33, Ayat 3); bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara (Pasal 34). Pasal-pasal dalam UUD 1945 tersebut secara implisit memberikan jaminan, antara lain, bahwa setiap individu bangsa Indonesia berhak atas kecukupan pangan yang menyehatkan.

Sebagai negara hukum, sejak kelahirannya pada tahun 1945 sudah menjunjung tinggi HAM. Sikap Indonesia tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum diproklamasikannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, UUD 1945 sudah memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan HAM yang sangat penting. Hak-hak tersebut tersebut antara lain hak semua bangsa atas kemerdekaan (alinea pertama Pembukaan); hak atas kewarganegaraan (Pasal 26); persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1)); hak warga negara Indonesia atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2)); hak setiap warga negara Indonesia atas kehidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2)); hak berserikat dan berkumpul bagi setiap warga negara (Pasal 28); kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29 ayat (2)); dan hak setiap warga negara Indonesia atas pendidikan (Pasal 31 ayat (1)).

Dari perspektif hukum tata negara, norma yang terkandung dalam UUD ini merupakan sumber hukum atau rechtsidee bagi aturan yang ada di bawahnya. Konstruksi ini mempunyai makna bahwa norma-norma yang ada dalam UUD harus mengalir dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya. Maka dengan kata lain, peraturan perundang-undangan yang merupakan norma original maupun norma jabaran tidak boleh menyimpang dari nilai-nilai HAM yang dinormakan oleh UUD 1945.


C. UU Pangan dan Konvensi Ekosob (ICESCR)

Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 merupakan salah satu produk hukum yang menjadi rujukan dalam pelaksanaan pembangunan pangan di Indonesia saat ini. UU Pangan telah meletakkan dasar-dasarbagi penyediaan pangan yang aman, bermutu, bergizi, beragam dan tersedia secara cukup untuk kepentingan kesehatan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dalam implementasinya UU ini juga didukung oleh UU terkait lainnya antara lain UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, da lain sebagainya.

Sebagai sebuah regulasi yang terkait langsung dengan pembangunan pangan di tanah air, maka sangat penting untuk mengkaji kembali sejauh mana UU ini relevan dan mampu menjadi wahana untuk pemenuhan Hak atas Pangan bagi warga negara Indonesia.

Pada sisi lain, terkait dengan hal tersebut, Indonesia telah meratifikasi International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR-1966) , atau selanjutnya disebut sebagai Kovenan Ekosob) menjadi Undang-Undang No. 11 tahun 2005. Karena UU No. 11 Tahun 2005 merupakan ratifikasi dari Kovenan Eksosob dimaksud, maka sangat objektif untuk mengkaji Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 dengan menggunakan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Kovenan Ekosob berikut aturan-aturan turunannya seperti The Right to Adequate Food (Art. 11):12/05/99.E/C.12/1999/5, CESCR General Comment 12; The Limburg Principles on The Implementation of International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights dan Maastricht Guidelines on Violations of Economic, Social, and Cultural Rights.

Di dalam Pedoman Maastricht disebutkan tiga kewajiban generic yang diemban Negara c.q pemerintah dalam pemenuhan hak ekosob, yaitu: (a) menghormati. Negara harus menahan diri untuk tidak campur tangan dalam penikmatan hak ekosob, (b) melindungi. Negara harus mencegah pelanggaran hak ekosob oleh pihak ketiga; dan (c) memenuhi. Negara harus mengambil tindakan-tindakan legislative, administrative, anggaran, hokum untuk memenuhi hak-hak ekosob. Meskipun ICESCR telah diratifikasi, namun belum sepenuhnya dipersepsikan atau dimengerti sebagai hak asasi manusia, melainkan dipersepsikan lain sebagai ‘masalah pembangunan’ seperti pada kasus kematian ibu hamil dan balita akibat gizi buruk (kelaparan) di kota Makasar sekitrar Maret 2008 yang lalu. Demikian juga belum dilakukannya harmonisasi atau sinkronisasi Undang-Undang yang terkait dengan Konvensi Ekosob, termasuk UU Pangan. Terlebih lagi UU tersebut memang lahir sebelum diratifikasinya Konvensi tersebut.

Beberapa kewajiban Negara yang harus dilakukan dengan diratifikasinya Kovenan Ekosob sebagai dasar perlunya sinkronisasi terhadap UU Pangan atau UU yang terkait antara lain adalah:
1. Mengambil langkah-langkah ekonomis maupun teknis, dengan memanfaatkan semaksimal mungkin sumber daya untuk merealisasikan hak atas pangan secara progresif, termasuk proses-proses legislasi. (Article 2.1)
2. Menjamin bahwa hak-hak yang dinyatakan dalam Kovenan Ekosob akan dapat diperoleh tanpa diskriminasi (ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, latar belakang politik dan status lainnya) (Article 2.2)
3. Menentukan batasan untuk menjamin pemenuhan hak atas pangan bagi warga negara asing di Indonesia (Article 2.3).
4. Menjamin hak atas pangan yang sama bagi laki-laki dan perempuan (Article 3).
5. Mengakui hak setiap orang untuk memperoleh pekerjaan dan melakukan langkah-langkah strategi untuk melindungi hak ini (Article 6.1). Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 tidak menyinggung mengenai hak memperoleh pekerjaan sebagai bagian dasar untuk memenuhi hak atas pangan.
6. Melakukan tindakan berupa pelatihan dan penyuluhan teknis, membuat kebijakan dan teknik untuk menjamin realisasi hak-hak atas pangan (Article 6) serta kondisi kerja yang adil dan layak (Article 7). Kritik terhadap Undang-Undang Pangan No. Tahun 1996 di sini bahwa Negara mengidentifikasikan perannya sebagai membina dan mendorong keikutsertaan masyarakat terkait dengan pengembangan sumber daya manusia pangan. Peran yang diperlukan dari Negara adalah bertanggung jawab dan memberikan jaminan.
7. Mengakui hak setiap orang atas jaminan sosial (Article 9). Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 tidak mengatur sedikit pun mengenai hal ini. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H Ayat 3 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.”
8. Mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak (kecukupan pangan, sandang, dan perumahan) (Article 11.1). terkait dengan kebijakan pangan maka implikasi dari“adalah mewajibkan negara untuk mengakui hak seiap orang atas standar pangan yang layak. Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 memuat banyak pasal yang terkait dengan standarisasi pangan, namun peran regulator ini dapat dikategorikan sebagai salah satu pelaksanaan obligation to protect bila klausul-klausul tersebut bukan hanya menyatakan bahwa negara hanya menetapkan, membina, mengatur, dan mengawasi akan tetapi perlu diubah penjadi klausul yang lebih menegaskan bahwa Negara bertanggung jawab memastikan terpenuhinya standar-standar kualitas pangan guna menjamin terpenuhinya standar pangan yang layak bagi setiap orang.
9. Mengakui hak setiap orang untuk bebas dari kelaparan serta melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya kelaparan (Article 11.2), yang meliputi: tindakan untuk meningkatkan produksi, konservasi, dan distribusi pangan; melakukan diseminasi pengetahuan mengenai prinsip-prinsip nutrisi; serta melakukan reforma agraria. Konsideran a Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 menyatakan bahwa pangan adalah hak asasi. Pengakuan mengenai pangan adalah hak asasi tidak berarti apa-apa tanpa disertai dengan pernyataan eksplisit mengenai tanggung jawab Negara untuk mengakui hak setiap orang untuk bebas dari kelaparan.

Namun dalam pendangan beberapa ahli, implementasi Kovenan Ekosob tersebut banyak tergantung kepada kondisi perekonomian dan pembangunan suatu Negara. Kelemahan lain sebagaimana dikemukakan oleh Malanczuk bahwa Kovenan ini hanya mengenal sistem pelaporan dan dirumuskan secara tidak mengikat. Agar HAM intrernasional dapat menjadi efektif khususnya bagi individu maka peran Negara untuk memberikan hak-hak ini dalam bentuk peratura perundang-undangan menjadi sangat relevan.


D. Pembaharuan Hukum dalam perspektif Prolegnas

Pembukaan UUD NRI 1945 yang menyebutkan “Pemerintah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa” dan tercermin dalam pasal-pasal yang terkait HAM menunjukkan pilihan para pendiri bangsa untuk memilih dan membentuk negara kesejahteraan (welfare state). Dalam konsep welfare state, hukum merupakan alat untuk meraih tujuan “kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat”. Oleh karena itu hukum ikut turun tangan untuk mengatur penyelenggaraan berbagai upaya kesejahteraan, seperti pendidikan, kesehatan, papan, dan kebutuhan publik lainnya.

Ini merupakan koreksi terhadap bekerjanya hukum liberal yang memegang semboyan ‘laissez fair laissez passez’ (biarkan semua berjalan sendiri secara bebas), dimana hukum bertugas hanya agar individu-individu di masyarakat berinteraksi secara bebas tanpa ada intervensi oleh siapapun termasuk negara. Oleh karena itu hukum bukan rasionalitas di atas segala-galanya tapi keadilan dan kebahagiaan di atas segala-galanya. Dalam pandangan ini para penyelenggara hukum akan merasa gelisah apabila hukum belum bisa membuat rakyat bahagia. Inilah yang disebut penyelenggaraan hukum yang progresif.

Oleh karenanya, untuk lebih mendorong berperannya hukum di dalam penegakan hak-hak dasar rakyat, Pemerintah harus secara aktif melahirkan peraturan perundang-undangan yang “pro rakyat” dan tegas dalam pengimplementasiannya. Untuk itu hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibentuk sedikitnya memenuhi tiga kualitas: stabilitas, kepastian dan adil. Pertama, hukum harus menciptakan stabilitas dengan mengakomodir atau menyeimbangkan kepentingan yang saling bersaing di lingkungan masyarakat. Kedua, menciptakan kepastian, sehingga setiap orang dapat memperkirakan akibat dari langkah-langkah atau perbuatan yang diambilnya. Dan ketiga, hukum harus menciptakan rasa adil dalam bentuk persamaan di depan hukum, perlakuan yang sama dan adanya standar yang tertentu. Untuk merealisasikan hal ini, telah ditetapkan secara bersama oleh DPR bersama dengan Pemerintah, Program Legislasi Nasional yang berkaitan dengan jaminan hak-hak dasar rakyat, baik yang tertuang dalam daftar Program RUU Tahun 2005-2009 maupun yang telah dan sedang pembahasannya sebagai prioritas tahunan.

Agenda Legislasi

Untuk pertama kalinya dalam sejarah perundang undangan Indonesia, Prolegnas Jangka Menengah ditetapkan pada tanggal I Februari 2005 dalam Keputusan DPR RI No. O1/DPR RI/III/2004 2005 tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 2005 2009 . Inti dari keputusan tersebut adalah menetapkan sebanyak 284 Program Legislasi Nasional untuk digarap selama lima tahun (Prolegnas Jangka menengah).

Dilihat dari dimensinya, dari 284 RUU tersebut terbagi dalam: 170 RUU baru (59.85%), 90 RUU perubahan/pengganti, termasuk UU warisan kolonial (31.69%), 24 RUU ratifikasi (8.45%). Sedangkan dilihat dari bidang kemenkoan: Bidang Polhukam lk. 159 RUU (55.98%); Bidang Perekonomian: 80 RUU (28.16); dan Bidang Kesra 45 RUU (15.84%).
Prolegnas mempunyai dua dimensi, yaitu:
 Sebagai instrumen/mekanisme perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis; dan
 Sebagai arah politik hukum nasional atau potret rencana materi hukum dalam kurun waktu tertentu untuk mencapai tujuan negara yang sesuai dengan Pancasila, UUD NRI 1945.

Beberapa Program RUU yang terkait dengan Hak Atas Pangan dan Kovenan Ekosob antara lain adalah:
1. RUU Tentang Pengambilalihan Lahan Untuk Kepentingan Umum (2008)
2. RUU Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (2005,2006,2008)
3. RUU Tentang Perlindungan Harga Komoditas Pertanian dan Pangan (Belum diprioritaskan)
4. RUU Tentang Perubahan UU No. 56 /Prp/ Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (2008)
5. RUU Tentang Pengawasan Obat Dan Makanan (Belum diprioritaskan)
6. RUU Tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (2008: menjadi UU No. 11 Tahun 2009)
7. RUU Tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social, And Cultural Rights ( ICESCR) (UU 11/2005)
8. RUU Tentang Perlindungan Petani (Belum diprioritaskan)
9. RUU Tentang Diversifikasi Pangan (Belum diprioritaskan)
10. RUU Tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam (2006,2007,2008,2009)
11. RUU Tentang Keamanan Hayati Dan Pangan (2008)
12. RUU Tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (2008, 2009)
13. RUU Tentang Konservasi Tanah Dan Air (2008, 2009)
14. RUU Terubahan Atas UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air (Belum diprioritaskan)
15. RUU Tentang Perubahan Atas UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (2005,2006,2008)
16. RUU Tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan (2005,2006,2008, 2009)

Sedangkan RUU yang sedang diprioritaskan pembahasannya pada tahun 2008 terkait dengan Hak atas Pangan adalah:
Di bidang pertanahan, telah diprioritaskan 9 (Sembilan) RUU berkaitan dengan reformasi agraria, yaitu:
1. RUU tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam (menjadi prioritas kembali di tahun 2009)
2. RUU tentang Penyempurnaan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya. menjadi prioritas kembali di tahun 2009
3. RUU tentang Perubahan Atas UU No. 56/Prp/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Pertanian
4. RUU tentang Keamanan Hayati dan Pangan
5. RUU tentang Konservasi Tanah dan Air
6. RUU tentang Perubahan Atas UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
7. RUU tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
8. RUU tentang Penggunaan Lahan untuk Pembangunan
9. RUU tentang Reformasi Agraria (Perubahan UU No. 5 tahun 1960).

RUU di bidang lain:
10. RUU tentang Jaminan Produk Halal
11. RUU tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
12. RUU tentang Kesehatan (Pengganti UU No 23 tahun 1992).
13. RUU tentang Lahan Abadi Pertanian.

Sebagian terbesar dari Program RUU ini belum dapat diselesesaikan menjadi Undang-Undang. Sebagian masih dalam pembahasan dan sebagian yang lain maih dalam penyusunan draft. Melihat gambaran tersebut nampaknya pembentukan RUU terkait dengan hak atas pangan tidak dapat berjalan dengan yang diharapkan. Dari evaluasi sementara dari tahun 2005 s.d 2008 RUU yang berhasil diundangkan lebih banyak RUU di bidang polhukam.


E. Penutup

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia telah mempunyai konstitusi yang mengatur secra memadai tentang hak-hak dasar termasuk di dalamnya hak atas pangan. Demikian juga peraturan perundang-undangan tingkat pelaksanaan berupa Undang-Undang dan peratura di bawahnya. Indonesia juga telah mempunyai UU Pangan dan telah meratifikasi Kovenan Ekosob.

Dalam praktik ditemui masih lemahnya implementasi dari Kovenan Ekosob dan belum sinkron atau harmonis dengan peraturan perundang-undangan nasional yang terkait dengan Hak Atas Pangan termasuk UU Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan.
Pembeharuan hukum melalui Program Legislasi Nasional sudah merangkum adanya program RUU yang terkait dengan hak-hak atas pangan namun belum efektif dan belum sepenuhnya didasarkan atas penyusunan yang terencana dan sistematis dan mendasarkan pada ketentuan-ketentuan internasional yang telah diratifikasi.

Oleh karena itu perlu adanya pembaharuan hukum di bidang Pangan melalui Prolegnas yang disusun secara komprehensif, terpadu dan memperhatikan aspek HAM, dan ketentuan lain baik perundangan nasional maupun ketentuan internasional yang berkembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar konstruktif dan bertanggung jawab