Minggu, 19 April 2009

PILEG YANG PILU, BAGAIMANA DENGAN PILPRES?



Yunan Hilmy al-Anshary

Pileg yang Pilu

Pemilihan Umum Legislatif telah terselenggara dengan aman pada tanggal 9 April 2009 yang lalu. Berdasarkan perhitungan cepat dari berbagai lembaga survei sudah dapat diketahui perkiraan partai yang akan memenangkan Pemilu Legislatif 2009. Demikian juga dengan perhitungan riil yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dari perhitungan sementara, baik yang dilakukan oleh lembaga survei maupun KPU, diperolehan lima partai pendulang suara terbanyak, yaitu (1) Partai Demokrat, (2) Partai Golkar, (3) PDIP, (4) PKS, dan (5) PAN.

Meskipun telah berjalan dengan lancar dan aman, namun terjadi permasalahan krusial yang dikeluhkan oleh masyarakat dan juga kalangan banyak partai, yakni tidak beresnya Daftar Pemilih Tetap (DPT). Banyak masyarakat pemilih yang tidak tercantum di dalam DPT, pada sisi lain fenomena yang umum terjadi di berbagai daerah adalah masih tercantumnya orang yang sudah meninggal, anak di bawah umur, orang yang sudah pindah, dan pencantuman ganda pada DPT. Permasalahan lain yang juga dinilai fatal adalah salah kirim Surat Suara ke daerah pemilihan (dapil) lain. Akibatnya terjadi kekacauan pada saat dan sesudah pemungutan suara. Hasilnya antara lain terjadi seorang Caleg di Sumatera Utara yang mendapatkan suara di daerah Jawa Tengah dan Caleg yang telah meninggal memperoleh suara terbanyak. Beberapa tokoh partai telah mendeklarasikan penilaiannya bahwa Pemilu Legislatif 2009 merupakan pemilu terburuk setelah reformasi (1999). Tidak sedikit pula pihak yang menginginkan Pemilu Ulang.

Permaslahan belum selesai. Marak diberitakan di media massa, banyak Caleg gagal yang kemudian menjadi stress, depresi berat karena tidak memperoleh suara yang dapat mengantarkannya menjadi anggota dewan yang terhormat. Hal ini sebenarnya sudah diperkirakan sebelumnya karena banyak rumah sakit jiwa, baik pemerintah maupun swasta dan juga tempat-tempat pengobatan alternatif yang telah mengantisipasi dan mempersiapkan terapi untuk caleg gagal. Namun yang agak diluar dugaan adalah adanya aksi bunuh diri beberapa caleg gagal karena tidak kuat menanggung malu atau beban akibat kegagalannya. Hal aneh lainnya, tidak sedikit para caleg gagal yang meminta kembali uang atau barang yang telah diberikan kepada masjid, tempat sosial atau orang perorang. Alasannya karena di tempat caleg itu mendermakan hartanya dia tidak memperoleh cukup suara. Caleg tersebut merasa ‘dikhianati’.

Sungguh memrihatinkan kondisi di atas, karena pasca reformasi kita telah menyelenggarakan dua kali pemilu yang cukup sukses dan demokratis bahkan mendapatkan apresiasi yang tinggi dari pihak luar negeri sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia. Sudah cukup segudang pegalaman dari penyelenggaraan pemilu 1999 dan 2004 yang semestinya dapat diambil sebagai pelajaran. Baik dari sisi kesisteman, pengaturan hukum dan teknis administrasi. Dari segi danapun sesungguhnya sudah tidak ada permaslahan.

Soal DPT Pemerintah tidak bisa lepas tangan begitu saja meski Presiden SBY telah menyatakan bahwa DPT dan penyelenggaraan Pemilu menjadi tanggung jawab penuh KPU. Mengapa demikian, karena daftar penduduk pemilih potensial pemilu (DP4) sebelum menjadi daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tetap dibuat oleh jajaran Departemen Dalam Negeri. Bisa jadi daftar tersebut hanya mendasafkan kepada Kartu Keluarga di masing-masing kelurahan atau desa yang tidak diverifikasi lebih lanjut. KPU sendiri memang layak untuk dimintai pertanggungjawabannya karena secara empiris banyak ketidakberesan dalam penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2009, mulai dari DPT, surat suara yang nyasar, lambannya rekapitulasi, dst. Penulis sendiri tidak pernah mendengar adanya daftar pemilih sementara dari kelurahan, RW ataupun RT. Tidak ada petugas yang melakukan pengecekan door to door untuk memastikan para calon pemilih tidak ada yang terlewati. Hal seperti itu sebenarnya lazim dilakukan pada pemilu-pemilu sebelumnya.

Kekurangberesan pelaksanaan Pileg tersebut rasanya tersempurnakan dengan ulah para caleg yang gagal. Mulai dari yang meminta kembali apa yang sudah berikan kepada konstituen atau para pendukungnya sampai yang stress dan gila, atau bahkan aksi bunuh diri. Rupanya ada yang harus dikoreksi dari Undang-Undang Pemilu produk DPR kita itu. Pengaturan atau sistem yang dibangun UU ini jelas memberikan iklim dan dampak atas apa yang telah terjadi pasca Pileg ini. Sistem suara terbanyak bagi keterpilihan caleg menjadi anggota legislatif (aleg) mendorong para caleg melakukan segala daya upaya, all-out dalam mengampanyekan dirinya. Tidak sedikit uang yang harus dikuras dari kantongnya karena memang menuntut biaya produksi yang sangat tinggi. Akhirnya apapun dilakukan untuk mendapatkan uang demi mimpinya. Persaingan tidak saja antarpartai tapi internal partaipun terjadi persaingan dan gesekan yang tinggi.

UU Pemilu telah berdampak terjadinya ‘perjudian demokrasi’. Bagaimana tidak, terjadi perbandingan yang tidak seimbang dengan kursi yang tersedia, pada sisi yang lain imej yang terlanjur terbangun atas diri seorang anggota dewan adalah kemewahan, glamoritas, kekuasaan dan materi yang melimpah. Kekuasaan DPR yang sangat kuat dibanding Pemerintah pasca Perubahan UUD 1945 telah membawa dampak negatif pada meluasnya pusat korupsi, tidak saja di lingkungan pemerintah pun merambah ke DPR. Tidak sedikit para anggota dewan yang terhormat yang menjadi tersangka kasus korupsi, disamping kasus asusila. Menjadi anggota legislatif di era demokrasi inipun telah dipahami sebagai mata pencaharian baru. Semua orang mengincarnya sebagai alternatif yang menjanjikan, padahal bila kembali kepada konstitusi yang ada betapa berat sesungguhnya tugas seorang angota legislatif. Sudah semestinya Partai Politik juga harus bertanggung jawab. Seharusnya Parpol juga memberikan pembekalan yang cukup akan orientasi dan idealisme seorang legislator bagi para calegnya. Demikian juga membekalinya dengan kualitas sikap mental dan akhlak yang baik bagi seorang legislator.


Bagaimana Pilpres?


Pileg usai Pemilihan Presiden (Pileg) menghadang kita. Insya Allah Juli, tiga bulan mendatang Pemilu Pilpres diselenggarakan. Kita tentu tidak menginginkan kepiluan Pileg tempo hari membikin juga Pilpres menjadi pilu. Penyelenggaraan Pileg harus menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi kesempurnaan pelaksanaan Pilpres. Semua pihak harus mendukung dan optimis bagi keberhasilan Pilpres mendatang. Ini penting bagi kebangkitan negeri kita yang secara jujur sudah mulai bangkit meski masih tertatih-tatih.

UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang oleh beberapa pengamat dinilai berorientasi pragmatis kepada kekuasaan dan hanya menguntungkan parpol besar mau tidak mau harus dilaksanakan karena sudah menjadi ‘kesepakatan’ politik. Harapan kita, UU ini tidak memberikan dampak negatif yang tidak terpikirkan sebelumnya. UU Pilpres menyaratkan besaran 20% keterwakilan di DPR atau 25% suara bagi partai atau gabungan partai yang akan menyalonkan capres dan cawapresnya. Dari hasil Pileg dan pendekatan antar partai pendulang suara terbanyak, agaknya sudah dapat diperkirakan tidak akan banyak pasangan capres dan cawapres yang akan diusung pada Pilpres mendatang. Paling banyak ada tiga calon pasangan bahkan kemungkinan hanya akan ada dua pasangon calon capres-cawapres. Banyaknya partai yang merapat ke kubu Partai Demokrat terlebih Partai Golkar masuk di dalamnya, kemungkinan ada dua kubu besar SBY melawan Mega. Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat sendiri telah menyatakan untuk tidak berkoalisi dengan PDIP. Kondisi ini sebenarnya dapat berdampak positif bagi lancarnya Pilpres dengan hanya satu putaran, meski bila dilihat dari kaca mata demokrasi mungkin kurang memuaskan aspirasi banyak orang karena hanya diberikan sedikit pilihan.

KPU jelas harus memperbaiki kinerjanya untuk tidak menjalarnya dampak negatif Pileg dan bagi kesuksesan Pilpres. Pemerintah juga harus serius mendukung upaya KPU bagi tersusunnya DPT yang menjaring calon pemilih yang memang sudah memenuhi persyaratan. Parpol juga diharapkan tidak overacting dalam mendukung calonnya masing-masing sehingga tidak memancing akar rumput dan pendukungnya untuk berbuat yang berlebihan pula. Tidak ada salahnya kita mengambil contoh demokrasi di AS ketika menyelanggarakan Pemilu Presiden belum lama ini. Meskipun terjadi persaingan yang sangat seru antara kubu Obama dan Cain, begitu diperoleh hasil pemilu, pihak yang kalah dengan sportif mengakui keunggulan lawan bahkan menyatakan dan mengajak kepada pendukungnya untuk mendukung Presiden terpilih. Tidak ada lagi 'perang' antar pendukung.


Siapa layak pilih?

Lantas siapa gerangan yang layak kita pilih? Secara tersirat maupun tersurat, al-Quran setidaknya menunjukkan dua sifat pokok yang harus disandang oleh seseorang yang dipundaknya dipikulkan jabatan yang terkait dengan hak-hak rakyat, yaitu yang kuat lagi terpercaya (amanah).

Ketika Yusuf diangkat oleh Sang Raja sebagai Kepala Badan Logistik Kerajaan Mesir, al-Quran merekamnya: “Sesungguhnya engkau menurut penilaian kami adalah seorang yang kuat dan terpercaya”. (QS. 12:54). Demikian juga ketika al-Quran bercerita tentang Nabi Syu’aib (QS. al-Qashash:26). Malaikat Jibril pun terpilih sebagai pembawa wahyu-Nya karena dua sifat itu. (Qs. 81:19-20).

Kuat dan terpercaya menyaratkan seseorang itu mampu dan mempunyai keahlian dalam jabatan yang akan dipangkunya. Kata Nabi: “Amanah terabaikan, kehancuran akan tiba bila jabatan diserahkan kepada yang tidak mampu.” Tidak gampang menemukan calon pilihan yang terhimpun sekaligus dua sifat itu. Bila tidak, kita bisa memilih yang paling sedikit kekurangannya dan yang mendukung kepentingan ummat.

Kita boleh saja menentukan pilihan, tapi ingat selalu sabda Rasul: “Siapa yang mengangkat seseorang untuk satu jabatan yang berkaitan dengan urusan masyarakat sedangkan ia mengetahui ada yang lebih tepat, maka sesungguhnya ia telah mengkhianati Allah, Rasul dan kaum Muslimin.”
Selamat mendukung dan memilih.

TIGA KELOMPOK MANUSIA



Yunan Hilmy al-Anshary

ALLAH SWT mengungkap, setelah al-Quran diwariskan kepada ummat Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam, manusia terbagi atas tiga kelompok besar. Kelompok pertama, manusia yang menganiaya diri sendiri. Kelompok kedua, disebut dengan kelompok muqtashid, sedang kelompok ketiga adalah manusia yang selalu berlomba melakukan kebaikan.

Kelompok pertama disebutnya ‘dlolimun linafsih’ karena gemar menganiaya diri sendiri. Al-Quran ada di tangan tetapi mereka tidak senang membacanya, tidak ada usaha untuk memahami apa isi al-Quran, sehingga gerak langkah dan tutur katanya tidak lagi sesuai dengan apa yang ditunjukkan Allah di dalam al-Quran. Ungkapan Syekh Muhammad Abduh: “Betapa banyak orang membaca al-Quran yang dilaknat oleh ayat yang ia baca.” Dalam al-Quran diamsalkan seperti keledai yang membawa Kitab yang tebal. Kitab tetap suci namun keledai tetap saja terpendam dalam kebodohan. (QS 62: 5).

Kelompok kedua, “muqtasid”, yakni kelompok manusia yang maju tidak, mundurpun tidak. Orang yang masuk kategori ini suka membaurkan antara yang baik dengan yang buruk walau Quran telah memberi pelajaran, sehingga hidupnya seperti itu. Al-Quran menggambarkan, ada manusia yang menyembah Allah hanya di tepi (=tidak penuh keyakinan). Jika memperoleh kebajikan, dia merasa puas dan jika ditimpa suatu cobaan, di berbalik ke belakang (kembali kafir). Kata Quran, itulah kerugian yang nyata, dia rugi di dunia dan di akhirat. (QS. 22:11).

Di tepi, artinya dia berada pada garis pemisah antara kafir dan Islam. Kaki kanan Islam, kaki kiri masih berpijak dalam kekafiran. Hal ini yang diherankan oleh Rasulullah SAW: “Saya heran melihat orang yang menghabiskan umurnya hanya sekedar untuk mengejar duniawi semata, padahal mati selelau mengejar. Ia sibuk mengejar dunia, matipun segera menyusul dan mengintainya. Saya heran melihat orang yang lupa diri tugas dan kewajiban kepada Allah, padahal Allah tidak pernah melupakan nasib mereka. Saya juga heran melihat orang yang tertawa terbahak-bahak sepenuh mulutnya, dia sendiri tidak sadar apakah itu diridloi Allah atau justru mengundang kemurkaan Allah.

Melalui QS 41 (Fushshilat): 51 Allah mengingatkan:
“Bilamana Kami beri kesenangan, kebahagiaan, kejayaan kepada manusia, kebanyakam manusia berpaling (sombong), lupa diri, lupa tugas, lupa statusnya sebagai hamba. Apabila ditimpa malapetaka, maka ia banyak berdoa.”

Model muqtashid adalah kelompok yang tetap di tempat. Kualitas imannya tidak pernah meningkat. Dalam masjid dia beriman, dalam pasar ia kafir. Pagi hari beriman, sore hari kafir. Kelompok tsb tidak disukai Allah SWT.

Terakhir, manusia kelompok ketiga adalah orang yang senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan dengan ijin Allah: membina dirinya, membentuk dirinya, meningkatkan kualitas imannya, akhlaqnya, ibadahnya, sehingga betul-betul menjadi ummat pilihan yang selalu melakukan amar ma’ruf (AM) nahi munkar (NM), mengajak kebaikan dan mencegah keburukan. (QS 3:110)

Bisa jadi kita sudah banyak melakukan amar ma’ruf, namun mungkin masih jarang melaksanakan nahiy munkar, karena AM tidak mengandung kesulitan sedikitpun, yang penting menyuruh berbuat baik. Tapi bila sudah berhadapan dengan NM, pasti musuh bermunculan! (QS 6:112). Padahal setiap risalah diturunkan pasti akan berhadapan dengan musuh (QS 20:43).

Ada konsep dari para Nabi dan Rasul yang dapat diterapkan dalam menghadapi kemaksiatan, yaitu: “matikan ular berbisa dari kepalanya sampai ke ekornya”. Kalau yang kecil-kecil kita berantas, tidak ada artinya, bahkan semakin ganas. Sama halnya dengan ular. Kalau ular yang kita potong adalah ekornya, itu lebih berbahaya. Alangkah hebatnya bila penguasa negeri ini menerapkan konsep ini untuk kasus korupsi yang begitu menggurita dan dahsyat.
Wa Allahu a’lam bishshowab.