Sabtu, 21 Maret 2009

PERAN DAN FUNGSI PANITIA LEGISLASI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM MELAKUKAN EVALUASI TERHADAP PERATURAN DAERAH




Yunan Hilmy, S.H.,MH.


I. PENDAHULUAN

Kondisi obyektif pelaksanaan program pembangunan nasional di bidang hukum, khususnya pada aspek materi hukum atau peraturan perundang-undangan hingga kini, masih saja ditemukan peraturan perundang-undangan yang dianggap “bermasalah“, termasuk diantaranya karena substansinya yang dianggap masih kontroversial, rancu, saling tumpang tindih dan tidak konsisten, baik secara vertikal maupun horizontal, dan belum menunjukkan komitmen dan karakter yang responsif terhadap masalah perlindungan hak asasi manusia, masyarakat lemah dan marjinal, nilai keadilan jender, serta proses pembentukannya yang kurang aspiratif dan partisipatif.

Kondisi tersebut di atas terrekam secara jelas di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasiona (RPJM) 2004-2009 Bidang Hukum. Disebutkan bahwa Peraturan perundang-undangan yang ada masih banyak yang tumpang tindih, inkonsisten dan bertentangan antara peraturan yang sederajat satu dengan lainnya, antara peraturan tingkat pusat dan daerah, dan antara peraturan yang lebih rendah dengan peraturan di atasnya. Inventarisasi yang dilakukan oleh Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah menemukan hanya 14,8 persen, dari sebanyak 709 perda yang diteliti, secara umum tidak bermasalah. Sisanya, sebesar 85,2 persen perda yang dibuat oleh 134 daerah tingkat II merupakan perda-perda yang bermasalah. Masalah terbesar pada perda-perda bermasalah tersebut antara lain terkait dengan prosedur, standar waktu, biaya, tarif, dan lainnya dengan persentase sebesar 22,7 persen, dan permasalahan acuan yuridis yang tidak disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan tingkat pusat dengan persentase sebesar 15,7 persen.

Dari sisi pengawasan dan evaluasi beberapa hari yang lalu bahkan diketahui sedikitnya ada 1.366 peraturan daerah tentang pajak dan retribusi tidak dilaporkan kepada Departemen Keuangan. Hal itu disebabkan antara lain karena ketidaktahuan daerah bahwa ada kewajiban untuk menyerahkan kepada pemerintah pusat.
Permasalahan tersebut di atas, antara lain, disebabkan oleh proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengabaikan pentingnya pendalaman materi, dan sinkronisasi serta harmonisasinya dengan peraturan perundang-undangan lain, serta kurang melakukan diseminasi peraturan perundang-undangan untuk membuka akses dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang. Hal tersebut juga menunjukkan belum berjalannya sistem pengawasan dan evaluasi terhadap peraturan daerah selama ini.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik DPRD Provinsi maupun Kabipaten/Kota, sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah memiliki peran yang strategis. DPRD dalam melaksanakan fungsi legislasi, kini telah menjadi fenomena di banyak daerah, dibantu oleh sebuah alat kelengkapan DPRD yang disebut dengan Panitia Legislasi (Panleg). Meskipun belum semua DPRD memilikinya karena memang belum terdapat dasar hukum yang jelas mengenai pembentukannya dan yang ada pun belum menunjukkan keseragaman dalam status, tugas dan fungsinya, namun kehadirannya sudah sangat diperlukan.
Kehadiran Panleg, seperti halnya yang terdapat di DPRD Provinsi Jawa Timur dan daerah lain, sebagai alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi paling tidak diharapakan dapat membantu dalam upaya mengatasi permasalahan peraturan perundang-undangan sebagaimana disinggung di atas khususnya dalam rangka evaluasi terhadap peraturan daerah. Pertanyaanya adalah sejauh mana Panleg DPRD dapat melakukan fungsi evaluasi terhadap Perda? Makalah ini akan membahasnya berdasarkan aturan yang ada dan kecenderungan praktik dari Panleg DPRD yang telah ada pula.


II. KEDUDUKAN DAN FUNGSI PANITIA LEGISLASI DPRD

Kedudukan DPRD
Membicarakan “peran” sebuah institusi tentu tidak bisa terlepas dari pembicaraan bagaimana kedudukan dari institusi itu sendiri berdasarkan ketentuan aturan yang membentuknya. Kedudukan Panleg DPRD, dengan demikian tentu juga harus sesuai dengan kedudukan DPRD-nya.

Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan, Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Undang-Undang Susduk). Dalam Pasal 60 Undang-Undang Susduk dinyatakan bahwa DPRD Provinsi merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan daerah provinsi. Selanjutnya Pasal 61 menyatakan, DPRD Provinsi mempunyai fungsi (a) legislasi, (b) anggaran, dan (c) pengawasan. Dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a ditegaskan bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk Peraturan Daerah yang dibahas dengan Gubernur untuk mendapat persetujuan bersama.

Kedudukan, tugas, dan fungsi tersebut juga tidak berbeda dengan kedudukan, tugas, dan fungsi DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam Pasal 76, Pasal 77, dan Pasal 78 ayat (1) huruf a. Selain diatur dalam Undang-Undang Susduk ketentuan mengenai DPRD diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Mengenai kedudukan dan fungsi, tugas dan wewenang, hak dan kewajiban, alat kelengkapan, larangan dan pemberhentian serta pergantian antar waktu anggota DPRD diatur secara jelas dalam Pasal 40 s/d Pasal 55 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pelaksanaan fungsi legislasi DPRD dipertegas pula dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Gubernur, atau Bupati/Walikota, masing-masing sebagai kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, atau Kota.


Kedudukan dan Fungsi Panleg DPRD


Untuk mendukung fungsi, tugas, dan wewenang DPRD dibutuhkan alat kelengkapan. Pasal 98 Undang-Undang Susduk menyatakan alat kelengkapan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota terdiri atas: (a) Pimpinan; (b) Panitia Musyawarah; (c) Komisi; (d) Badan kehormatan; (e) Panitia Anggaran; dan (f) Alat kelengkapan lain yang diperlukan. Dalam penjelasan Pasal 98 ayat (4) huruf f dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan alat kelengkapan lain yang diperlukan misalnya Panitia Legislasi.
Sebagai pelaksana Undang-Undang Susduk, Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2005. Dalam Pasal 54 Peraturan Pemerintah ini pada ayat (1) dinyatakan Pimpinan DPRD dapat membentuk alat kelengkapan lain yang diperlukan berupa Panitia Khusus dengan Keputusan DPRD, atas usul dan pendapat anggota DPRD setelah mendengar pertimbangan Panitia Musyawarah dengan persetujuan Rapat Paripurna. Pada ayat (2) dinyatakan Panitia Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tidak tetap (cetak miring-pen).
Mengenai alat kelengkapan DPRD lainnya ini, Pasal 141 UU No. 32 Tahun 2004 menyebutnya alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi, sama dengan penyebutan yang terdapat dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004. Berdasarkan ketentuan Pasal 141 ini alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi ini bertugas menangani persiapan Rancangan Peraturan Daerah.

Di beberapa Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2005, Panitia Legislasi telah diatur sebagai alat kelengkapan DPRD. Namun karena bersifat tidak tetap dan belum menemukan pola yang baku, pelaksanaan tugasnya belum didukung oleh pendanaan yang cukup seperti alat kelengkapan DPRD lainnya.
Kedudukan dan tugas Panitia Legislasi DPRD yang nampaknya lebih jelas adalah kedudukan dan tugas Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK). Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh disebutkan:

Pasal 30
(1) Alat kelengkapan DPRA/DPRK terdiri atas:
a. pimpinan;
b. komisi;
c. panitia musyawarah;
d. panitia anggaran;
e. badan kehormatan;
f. panitia legislasi; dan
g. alat kelengkapan lain yang diperlukan.
(2) Pembentukan, susunan, tugas, dan wewenang alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRA/DPRK.

Pasal 34
(1) Panitia Legislasi berkedudukan sebagai pusat perencanaan pembentukan qanun.
(2) Panitia Legislasi pada DPRA dibentuk oleh DPRA dan Panitia Legislasi pada DPRK dibentuk oleh DPRK.
(3) Panitia Legislasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat tetap.

Pasal 35
Tugas Panitia Legislasi sebagai pusat perencanaan pembentukan qanun adalah:
a. menyusun program legislasi daerah yang memuat daftar urutan rancangan qanun untuk 1 (satu) masa keanggotaan dan prioritas setiap tahun anggaran, yang selanjutnya dilaporkan dalam Rapat Paripurna untuk ditetapkan dengan keputusan DPRA/DPRK;
b. menyiapkan rancangan qanun usul inisiatif DPRA/DPRK berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan;
c. melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan qanun yang diajukan anggota, komisi, dan gabungan komisi sebelum rancangan qanun tersebut disampaikan kepada pimpinan dewan;
d. memberikan pertimbangan terhadap pengajuan rancangan qanun yang diajukan oleh anggota, komisi, dan gabungan komisi di luar rancangan qanun yang terdaftar dalam program legislasi daerah atau prioritas rancangan qanun tahun berjalan;
e. melakukan pembahasan dan perubahan/penyempurnaan rancangan qanun yang secara khusus ditugaskan Panitia Musyawarah;
f. melakukan penyebarluasan dan mencari masukan untuk rancangan qanun yang sedang dan/atau yang akan dibahas dan sosialisasi rancangan qanun yang telah disahkan;
g. mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap materi qanun melalui koordinasi dengan komisi; (cetak tebal-pen).
h. menerima masukan dari masyarakat baik tertulis maupun lisan mengenai rancangan qanun;
i. memberikan pertimbangan terhadap rancangan qanun yang sedang dibahas oleh Gubernur dan DPRA serta bupati/walikota dan DPRK; dan
j. menginventarisasi masalah hukum dan peraturan perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan DPRA/DPRK untuk dipergunakan sebagai bahan oleh Panitia Legislasi pada masa keanggotaan berikutnya.

Berbeda dengan kedudukan dan tugas Panleg DPRD di Aceh, berdasarkan Tata Tertib DPRD Provinsi Jawa Timur, Pasal 59 ayat (2), dinyatakanbahwa Panitia Legislasi adalah alat kelengkapan DPRD yang bersifat tidak tetap. Berdasarkan Pasal 61 Peraturan Tatib DPRD Provinsi jatim, Panleg memiliki tugas:
a. mengusulkan inisiatif DPRD dalam membuat Rancangan Peraturan Daerah;
b. meneliti dan mengevaluasi materi inisiatif DPRD dalam mengajukan Ranperda;
c. usulan inisiatif sebagaimana huruf a dengan mengkoordinasikan pada pengusul, komisi-komisi dan/atau dari fraksi;
d. meneliti dan mengevaluasi Peraturan Daerah yang sedang berlaku untuk dikaji efektifitasnya dan kesesuaiannya dengan undang-undang yang berlaku dan/atau permintaan dari Komisi-Komisi;
e. meneliti dan menguji kelayakan Rancangan Peraturan Daerah yang diajukan oleh Pemerintah Daerah sebelum memasuki pembahasan oleh Komisi-Komisi dan atau oleh Panitia Khusus;
f. melakukan penyelarasan akhir sebelum memasuki paripurna pandangan akhir fraksi dan penetapan; dan
g. menyampaikan rekomendasi dari hasil pelaksanaan tugas kepada Pimpinan Dewan.

Bila memperbandingan tugas atau fungsi Panleg di Prov. NAD dengan Prov. Jawa Timur, terlihat adanya kesamaan tugas khususnya yaitu mengevaluasi Rancangan Perda inisiatif DPRD dan Perda yang sedang berlaku untuk dikaji efektivitasnya dan kesesuaiannya dengan Undang-Undang yang berlaku.
Selain tugas/fungsi evaluasi tersebut, pada Temu Konsultasi Panitia legislasi DPRD Propinsi, Kabupaten/Kota Wilayah Indonesia Barat yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, tanggal 27 s.d 29 Maret 2007 direkomendasikan antara lain bahwa tugas dan kewenangan Panleg sekurang-kurangnya meliputi:
a. menyusun Program Legislasi Daerah yang berasal dari usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
b. mengkoordinasikan penyusunan Prolegda yang berasal dari DPRD dan Pemerintah Daerah.
c. menetapkan prioritas pembentukan Peraturan Daerah berdasarkan Prolegda.
d. mengkaji Rancangan Peraturan Daerah usul inisiatif DPRD.
e. melakukan harmonisasi dan sinkronisasi setiap Rancangan Peraturan Daerah.
f. melakukan sosialisasi dan mencari masukan untuk Rancangan Peraturan Daerah yang sedang dan/atau yang akan dibahas.
g. menerima masukan dari masyarakat (akademisi dan praktisi) mengenai Rancangan Peraturan Daerah.



III. EVALUASI PERDA

Istilah “evaluasi” pada frasa evaluasi perda sebenarnya telah mempunyai arti yuridis tersendiri. Evaluasi perda merupakan bagian dari sistem pengawasan terhadap sebuah Perda yang dibuat oleh Daerah oleh Pemerintah (Pusat).
Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dikenal adanya pengawasan/evaluasi preventif; dan pengawasan/evaluasi represif. Evaluasi Represif yaitu Perda yang sudah diundangkan dalam Lembaran Daerah dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari harus disampaikan kepada Pemerintah Pusat untuk dinilai apakah bertentangan tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau kepentingan umum. Ketentuan mengenai evaluasi tersebut tercantum di dalam Pasal 145 UU No. 32 Tahun 2004:

Pasal 145
(1) Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.
(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
(3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud.
(5) Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
(6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
(7) Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda dimaksud dinyatakan berlaku.

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 145 ayat (5) dan ayat (6) tersebut di atas bukanlah upaya pengujian (judicial review) atas perda melainkan pengujian (judicial review) atasperaturan presiden yang membatalkan perda. Hal ini berarti juga Perda bukan merupakan obyek pengujian Mahkamah Agung (Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945). Karena UU 32/2004 lahirnya lebih belakangan daripada UU No. 10 Tahun 2004 (khususnya pasal 7) maka berlaku asas lex posteriore derogate legi priore” .
Sedangkan Evaluasi preventif yaitu penyampaian Rancangan Perda yang berisi Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pajak dan retribusi daerah kepada Menteri Dalam Negeri, sedangkan Raperda Kabupaten/Kota diajukan kepada Gubernur/Kepala Pemerintah Daerah Provinsi. Pengajuan berjenjang ini dimaksudkan untuk dinilai oleh unit pemerintahan atasan sesuai dengan ketentuan Pasal 185 s.d 188 UU No. 32 Tahun 2004.

Pasal 185 UU 32 tahun 2004 mengatur sebagai berikut:
(1) Rancangan Perda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.
(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud.
(3) Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Gubernur.
(4) Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi.
(5) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD, dan Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan Gubernur, Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.


Adanya dua jenis pengawasan yang dianut oleh UU No. 32 Tahun 2004 tersebut adalah koreksi terhadap evaluasi yang dianut oleh dua Undang-Undang sebelumnya, yaitu UU No. 5 Tahun 74 tentang Pemerintahan Di Daerah dan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 5 Tahun 1974 menganut penawasan preventif. Karena praktik desentralisasi menurut UU No. 5 tahun 1974 pada praktiknya sarat dengan nuansa sentralisasi yang cenderung intervensi kepada Daerah, maka pengawasan preventif dihapuskan.

Oleh UU No. 22 Tahun 1999 diganti dengan evaluasi represif,yaitu bahwa Perda yang bersifat pengaturan (regeling) yang sudah diundangkan dalam Lembaran Daerah, selambat-lambatnya 15 hari harus disampaikan kepada Pusat untuk dinilai apakah bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau kepentingan umum, atau Perda lainnya (Pasal 113 s.d Pasal 115 UU 22/1999). Namun, pada masa selanjutnya karena UU No. 22 Tahun 1999 dianggaap kebablasan, lebih federalis daripada Negara federal) maka UU tersebut digantikan dengan UU No. 32 tahun 2004.

Penerapan mekanisme tersbut dikaitkan dengan dasar pemikiran bahwa Indonesia adalah Negara kesatuan (unitaruy state), sehingga dinilai rasional apabila Pemerintah pusat sebagai pemerintahan atasan diberi kewenangan untuk mengendalikan sistem hukum di lingkungan Pemerintah daerah, sepanjang untuk kepentingan nasional yang obyektif. Justru tidak rasional apabila di Negara Republik Indonesia yang Negara kesatuan, dianggap tidak berwenang melakukan tindakan untuk mengatur dan mngendalikan pembentukan peraturan daerah yang tidak sejalan dengan maksud diadakannya mekanisme pembentukan peraturan daerah itu sendiri oleh pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

IV. PERAN DAN FUNGSI PANLEG DALAM EVALUASI PERDA

Melihat penjelasan mengenai evaluasi perda seperti tersebut di atas, kiranya sulit bagi Panleg untuk melakukan evaluasi Perda dalam arti yuridis karena Panleg sebagai alat kelengkapan DPRD tidak mempunyai dan tidak menjangkau dengan kewenangan tersebut.

Kewenangan untuk melakukan evaluasi sebagai kontrol oleh Pemerintah pusat (atasan) antara lain adalah kontrol atas norma hukum yang ditetapkan oleh pemerintahan bawahan melalui apa yang disebutmekanisme control norma umum (general norm control), ini yang biasa disebut dengan sistem “abstract review” yang dapat dilakukan oleh lembaga eksekutif, lembaga legislatif, ataupun lembaga pengadilan. Jika “abstract review” itu dilakukan oleh lembaga eksekutif, maka mekanisme demikian disebut “executive review”. Jika “abstract review” itu dilakukan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah yang menetapkan peratuan daerah itu sendiri, maka disebut “legislative review”. Jika pengujian dilakukan oleh pengadilan, maka hal itu biasa disebut “judicial review”.

Disamping abstract review, mekanisme control norma juga dapat dilakukan melalui prosedur “abstract preview”, yaitu control yang dilakukan sebelum norma hukum yang bersangkutan mengikat umum. Misalnya, setelah Rancangan Perda disahkan, sebelum diundangkan sebagaimana mestinya, Pemerintah atasan diberi kewenanganuntuk menguji, menilai atau bahkan menolak pengesahan peraturan Pemerintah bawahan. Mekanisme demikian disebut “executive abstrak preview”. Kewenangan preview seperti inilah, menurut Prof Jimly Ash-Shiddiqie yang sebaiknya diberikan kepada Kepala Pemerintah atasan. Bila suatu perda yang dibentuk olehlembaga eksekutif dan legislatif yang sama-sama dipilih langsung oleh Rakyat melalui pemilu, yang sudah mengikat untuk umum maka sebaiknya yang mengevaluasi/menguji adalah lembaga peradilan.
Lalu peran peran evaluasi yang bagaimana yang dapat dilakukan oleh Panleg DPRD untuk mengevaluasi Perda dalam rangka melaksanakan fungsi legislasi DPR?


Peran Panleg DPRD

Sebagaimana tugas dan kewenangan yang telah diberikan oleh UU Pemerintahan Aceh maupun Tata Tertib DPRD Provinsi Jawa Timur, maka Panleg DPRD tetap dapat melakukan evaluasi terhadap perda. Evaluasi yang dapat dilakukan adalah evaluasi dari aspek semi-ilmiah yaitu evaluasi terhadap Raperda yang merupakan usul prakarsa DPRD (preview) dan evaluasi terhadap Perda yang telah dan/atau sedang berlaku.

Evaluasi yang dilakukan oleh Panleg DPRD terhadap Rancangan Perda usul prakarsa DPRD adalah dimaksudkan untuk mempersiapkan lebih matang, sistematis dan terkoordinasi. Sehingga pada saat memasuki tahap pembahasan tidak lagi mengalami kebuntuan atau mengurusi hal-hal yang bersifat redaksional. Sedangkan evaluasi yang dilakukan terhadap Perda yang telah atau sedang berlaku adalah untuk melihat tingkat efektivitas keberlakuan sebuah perda di dalam masyarakat.
Komponen yang dikaji di dalam review sebagaimana dimaksud di atas adalah (a) substansi atau materi peraturannya; (b) aparatur pelaksananya; dan (c) sarana prasarananya.

Kewenangan melakukan mengevaluasi secara materiil terhadap Perda sebagaimana yang sekarang berlaku masih mengandung banyak kelemahan. Oleh karena itulah evaluasi perda yang dilakukan oleh Panleg DPRD tersebut dapat menjembatani kelemahan evaluasi juridis atau materiil. Kegiatan evalausi ini bermanfaat bagi terwujudnya Perda yang tidak bermasalah sejak awal diundangkannya, namun menjadi peraturan yang efektif dan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Kegiatan evalasi yang dilakukan oleh Panleg DPR tersebut juga dapat digunakan sebagai bahan perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan. Karena disamping meninjau substansi juga berusaha menganalisis efektivitas perda dalam pelaksanaannya, termasuk kelembagaan dan aparatur pelaksananya. Melalui kegiatan ini dapat diketahui kelemahan yang ada dalam peraturan yang dievaluasi atau dikaji dan bagaimana persepsi masyarakat terhadap peraturan itu.

Permasalahan
Evaluasi semi ilmiah tersebut bukan tidak ada persoalannya. Karena bersifat semi-ilmiah dan tidak ada sanksinya maka tidak mengikat pihak-pihak dan hasil efektifitas kegunaan hasil evaluasi ini tergantung kepada semangat para pelaku, baik kalangan dewan, Pemerintah daerah maupun masyarakat itu sendiri.
Kendala lain bisa datang dari instansi pemrakarsa yang tidak setuju atau keberatan karena menganggap perda yang diprakarsainya merupakan “milik” atau domainnya, sehingga merasa paling berhak untuk mempertahankan berlakunya.

V. PENUTUP

Demikian beberapa hal yang dapat kami sampaikan berkaitan dengan Peran dan Funsi Panleg DPRD dalam melakukan evaluasi terhadap Peraturan Daerah. Semoga bermanfaat.

__________________

Makalah disampaikan pada Seminar tentang “Optimalisasi peran dan fungsi Panitia Legislasi Dalam Pelaksanaan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”, diselenggarakan oleh DPRD Provinsi Jawa Timur bekerjasama dengan Lembaga Pengembangan Sumber Daya Otonomi Daerah (Lapesda) pada tanggal 25 Mei 2007 di Hotel Manhattan, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar konstruktif dan bertanggung jawab