Jumat, 30 April 2010

NEGERI EWUH PAKEWUH

Tiba-tiba saja istilah ‘simbol negara’ menjadi poluler beberapa hari ini. Gara-garanya Pak Boediono yang kebetulan sekarang menjabat sebagai Wakil Presiden diperiksa oleh KPK (Kamis, 29 April 2010). Ada yang mengatakan bukan diperiksa tapi hanya dimintai keterangan. Ini khas Indonesia. Istilah ‘simbol negara’ itu justru dimunculkan antara lain oleh KPK sendiri melalui wakil ketuanya Moch. Jasin dan dijadikan sebagai dalil (=dalih?) mengapa Pak Boediono tidak datang ke KPK namun didatangi (jawa=disowani) oleh Tim Penyidik KPK untuk diperiksa. Alasannya, Pak Boediono sekarang menjabat sebagai Wakil Presiden yang notabene simbol negara, oleh karena itu kita harus menghormatinya.

Sesungguhnya negeri dan bangsa ini sudah bulat melalui reformasi konstitusinya, menisbatkan dirinya bahwa negara RI tercinta ini adalah negara hukum. Di dalamnya terkandung pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, juga adanya persamaan setiap warga negara dalam hukum. Prinsip equality before the law tersebut sangat jelas dan tegas tercantum dalam ketentuan Pasal 28D UUD NRI 1945. Maknanya, negara menjamin tiadanya perbedaan perlakuan atas warga negara yang terkait dengan masalah hukum, siapapun dia.

Bila demikian dalilnya, apa masalahnya bila seorang Boediono diperiksa di Kantor KPK, apalagi pemeriksaan itu terkait dengan masalah ketika Boediono menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia. Bukankah dengan kedatangan Pak Boediono yang rendah hati itu mau diperiksa di KPK justru akan menunjukkan kebesaran jiwanya dan kenegarawanannya? Alangkah terhomatnya beliau karena hormatnya kepada hukum. Mengapa KPK tidak menjalankan saja kewenangan yang berdasarkan UU itu dengan percaya diri? Ada apa dengan lembaga yang masih dipercaya dan digadang-gadang rakyat sebagai pendobrak dan pendorong Indonesia yang bebas dari korupsi, menjadi pemimpin dan penggerak perubahan untuk Indonesia bebas korupsi? Alangkah terhormatnya bila KPK tidak memberlakukan keistimewaan yang kurang proporsional.

Hukum di negeri ini,senyatanya, memang bukanlah panglima. Dia masih menjadi 'komoditas jual-beli'. Bahkan ketika dia harus ditegakkan, jurus ewuh pakewuh atau rasa sunkan-lah yang ‘harus’ diterapkan utamanya ketika harus berhadapan dengan pejabat negara. Bukankan karena fitrahnya KPK akan banyak berhadapan dengan penyelenggara negara yang terlibat tindak pidana korupsi? Sampai kapankah KPK akan terus menggunakan ‘mitos’ simbol negara dalam menjalankan tugasnya?

wapres = simbol negara?

Entah dari mana istilah ‘simbol negara’ itu diambil sebagai dasar perlakuan (treatment) terhadap Pak Boediono. Saya setuju, tidak ada perdebatan untuk menghormati Pak Boedino sebagai Wakil Presiden RI. Namun, adakah istilah itu disebut-disebut di dalam konstitusi kita, UUD NRI 1945? Dalam ketentuan manakah dari UUD kita yang menyebutkan bahwa ‘wakil presiden’ adalah simbol negara?

Bila kita tengok UUD NRI 1945, disana hanya ada penyebutan: bendera negara Indonesia ialah Sang Merah Putih, bahasa negara ialah Bahasa Indonesia, lambang negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, dan lagu kebangsaan ialah Indonesia Raya (Pasal 35, Pasal 36, Pasal 36A, Pasal 36B). Bahkan hal tersebut kemudian diatur lebih khusus dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaaan. Itulah sesungguhnya yang oleh UU 24 Tahun 2009 disebut sebagai 'simbol' identitas wujud eksistensi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.(Lihat Pasal 2). Simbol tidak akan berubah meski wapres-nya berganti-ganti.

Kalau wapres saja tidak ditemukan rujukannya dalam konstitusi maupun perundang-undangan yang menyebutnya sebagai simbol negara, apatah lagi menteri keuangan? Pemeriksaan Sri Mulyani yang kebetulan Menteri Keuangan terkait kasus Century di kantornya rasa-rasanya menampar rasa keadilan rakyat dan kurang berdayanya KPK.

Kita berharap hukum masih bisa semerbak harum. Kita masih berharap dengan KPK. Kitapun harus optimis bahwa ke depan KPK harus kuat dan dipimpin pula oleh orang yang kuat. Meminjam istilah Buya Syafii Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah, KPK harus dipimpin oleh orang yang ‘agak gila’. Dia berani dan tegas karena dia sudah selesai. Tidak lagi memikirkan jabatan, kekuasaan, dan apalagi uang. Yang dia pikirkan adalah Indonesia yang bersih dan bermartabat.

Wa Allahu a’lam bish-showab

Senin, 26 April 2010

menganiaya atawa dianiaya?

ketika kita hendak bertebar di muka bumi
pasti akan ada seribu asa di benak kita
ketika berangkat kerja, menuntut ilmu, berdagang, etcetera
pasti akan ada beribu asa
selamat dalam perjalanan, lancar saat kerja-sekolah-kuliah, lancar saat bertransaksi
dan kesuksesan entah apapun bentuknya, materiil pun immateriil.

beribu, berjuta kebaikan untuk kita. itu yang diinginkan.
namun terpikirkah dalam benak dan nurani kita bahwa kebaikan yang akan kita dapatkan itu tidak melahirkan mudharat bagi orang lain? bahkan dalam paradigma hubungan masyarakat yang serba pamrih dan transaksional seperti sekarang, prinsipkah seluruh kebaikan yang kita rengkuh itu harus tidak membodohi, menipu dan bahkan menyesatkan orang lain?

era yang smakin ribawi ini “dalil” menghalalkan segala cara sepertinya smakin berlaku. tidak ada lagi nilai. semua ‘serba boleh’. bukan hanya pancasila yang sial, agamapun terabai. sesempurna itukah kerusakan moral kita?

sesungguhnya ada tauladan dari junjungan kita
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam
ketika sang Rasul keluar rumah
salah satu doa yang dipanjatkan ketika hendak berangkat adalah:

Ya Allah, hamba berlindung kepada-Mu
dari teresat atau disesatkan
dari tergelincir atau digelincirkan
dari menganiaya atau dianiaya,
dari bodoh atau dibodohi

Allahumma a’udzubika an adlilla au udlalla
au azilla au uzalla
au adz-lima au udz-lama
au ajhala au yujhala ‘alayya

(Hadits Riwayat Abu Dawud):

bila doa pendek ini kita amalkan
insya Allah, akhlak anak bangsa menjadi lebih baik
amien

Sabtu, 10 April 2010

MUHAMMADIYAH DAN KOMITMEN BERKONSTITUSI

Prof.Dr. Mahfud MD
Ketua Mahkamah Konstitusi RI

Hidup sebagai bangsa di dalam sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan bersepakat memilih satu dasar negara yang kita sebut Pancasila merupakan komitmen kita bersama. Bahkan Prof. Dien Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah, menyatakan pilihan Pancasila dan NKRI adalah tidak saja ideal akan tetapi juga final. Dulu, ketika hari ulang tahun Muhammadiyah di kantornya Pak Dien Syamsuddin, saya mengatakan Indonesia itu sebenarnya kalau Muhammadiyah dan NU menyatakan tidak setuju Pancasila, saya kira tidak ada Indonesia. Coba anda bayangkan, dengan puluhan juta anggota Muhammadiyah dan NU, baik yang secara resmi menjadi anggota organisasi sebagai jamiyyah maupun jama’ah. Sesungguhnya Indonesia beruntung punya NU dan Muhammadiyah.

Bahkan Pancasila itu juga disusun oleh Ki Bagus Hadikusumo, Kahar Muzakir, Kasman Singodimejo (tokoh muhammadiyah), dari NU ada Wahid Hasyim dsb. Nah ini kalo bukan atas dukungan Muhammadiyah dan NU, sekarangpun misalnya hari ini kalau Muhammadiyah dan NU mengumumkan tidak terima Pancasila, habis, negara ini, bubar. Oleh sebab itu inilah yang harus diingat oleh seluruh elemen bangsa Indonesia. Betapa Islam melalui Muhammadiyah dan NU di Indonesia telah memberikan sumbangan berupa kebangkitan dan kebangunan serta eksistensi NKRI sebagai pilihan keyakinan. Memang ada pikiran-pikiran yang agak ekstrim tapi itu sangat kecil. Percayalah bahwa pilihan Muhammadiyah dan NU itu adalah hasil ijtihad para ulama yang ilmu agamanya sudah sangat tinggi sehingga kita sebagai pengikutnya tidak perlu mempersoalkan lagi kecuali mendiskusikan pengembangan-pengembanannya untuk aktualisasi. Jangan sampai merasa keislaman kita belum sempurna. Ki Bagus Hadikusumo dan Kyai Wahid Hasyim yang sudah berdiskusi dengan orgnanisasinya masing-masing bahwa Pancasila ini adalah pilihan yang tepat bagi NKRI yang dalam sejarah disebut sebagai Negara Indonesia dengan Pancasilanya adalah “darussalam” negara yang damai.

Negara Indoensia itu bukan negara Islam tapi negeri muslim atau negara Indonesia bukan negara Islam tapi negara islami. Kalau negara Islam itu selalu menginginkan silmbol-simbol keagamaan. Tapi kalau negara islami tidak perlu.Islam adalah sifat. Oleh sebab itu yang diperjuangkan justru nilai-nilai yang sifatnya universal dari ajaran Islam yang diterima oleh semua manusia. Misalnya kalau bicara keadilan, nilai keadilan. Itu bukan hanya Islam tapi islami. Keadilan, siapa yang menolak keadilan? Agama apa yang menolak? Dengan istilah keadilan maka semua orang merasa diayomi. Tapi kalau mengatakan: saya mau menegakkan hukum Islam, dilawan. Coba, kasus UU Pornografi. Itu dulu sudah masuk di dalam Prolegnas lama. Kita sudah bersepakat bahwa UU Pornografi itu penting untuk melindungi moral bangsa ini (diluar soal industrinya). Nah itu dulu sudah diterima oleh semua fraksi. Fraksi yang Islam dan tidak Islam setuju semua. Karena, itu demi moral bangsa. Tapi begitu RUU ini muncul dibentuk Pansusnya lalu muncul isu bahwa ini adalah untuk memberlakukan hukum agama tentang aurat. Lalu didukung oleh demo-demo orang berpakaian tertentu yang menggambarkan bahwa itulah Islam. Orang yang tadinya setuju menjadi tidak setuju padahal substansinya sama. Dulu semua setuju tapi ketika disimbolkan dengan simbol-simbol keagamaan, dilawan. Sesudah diundangkanpun akhirnya dipotong dari sekian pasal, dipotong lagi sampai dicapai kompromi, setelah menjadi UU masih juga digugat ke MK. Kenapa? Karena simbol yang diperjuangkan.

Kita dulu mendirikan negara RI seperti ini dengan menyadari sepenuhnya sebagai muslim, kita sudah bersepakat tidak akan memperjuangkan simbol-simbol ajaran itu tapi substansi. Misalnya, kita harus memilih pemimpin yang jujur, nah itu substansi ajaran Islam. Kita memilih pemimpin-pemimpin yang demokratis, itu substansi ajaran Islam dan kita tidak melanggar ajaran agama, tidak mengkhianati apa yang diperintahkan oleh agama terhadap kita. Jadi soal Islam dan Pancasila, ideal sekaligus final. Ini ungkapan yang sangat bagus, saya baru dengar hari ini karena yang selama ini, kalau di NU itu sudah final. Sekarang ditambah ideal, tambah ilmu lagi saya dari Prof. Dien Syamsuddin.

Pancasila sebagai dasar negara itu sudah selesai, dan itu diuraikan di dalam UUD. Pancasila itu ada di Pembukaan yang kita sebut sebagai dasar ideologi negara atau dalam istilah agama “mitsaaqon gholidlo”, ikatan luhur. Kemudian diatur dalam pasal-pasal. Pasal-pasal ini sekarang sudah berubah. idealnya tidak tapi teknis pemerintahannya sudah berubah, sehingga kita baru kenal Mahkamah Konstitusi. Apa itu MK? MK itu adalah produk perubahan UUD dan MK itu hanya salah satu saja dari perubahan UUD, karena sejak 2002 setelah empat tahap perubahan lalu struktur ketatanegaraan kita berubah. Sekarang kita tidak lagi mempunyai lembaga tertinggi negara yang namanya MPR. MPR itu sekarang lembaga negara bukan tertinggi. Lembaga negara itu sekarang ada tujuh yang dianggap sejajar. (1) MPR, (2) DPR, (3) DPD, (4) Presiden, (5) MA ,(6) MK , dan (7) BPK. Ini lembaga negara utama, ditambah lembaga negara pendukung Komisi Yudiasial, ini dulu tidak ada. Kita harus memahami perubahan konstitusi ini.

Diantara bentuk perubahan itu, misalnya, dulu sebelum UUD 1945 ini diamandemen, Presiden bisa dijatuhkan sewaktu-waktu melalui proses politik, bergantung kuat-kuatan secara politik. Pak Harto jatuh karena tekanan politik yang kuat dari rakyat terutama mahasiswa. Tidak pernah ada proses hukum terhadap kejatuhan pak Harto. Pak Harto turun tidak melalui prosedur normal konstitusional, tapi karena tekanan politik. Demikian juga dengan Gus DUR. Gus Dur dijatuhkan dengan dakwaan penyalahgunaan uang Bulog dan dana hibah dari Sultan Brunai. Gus Dur itu sudah melalui prosedur Tap MPR Memorandum-1, memorandum-2. Mestinya dia jatuh di dalam sidang istimewa berdasarkan memorandum itu, tetapi saya kira banyak yang tidak tahu bahwa Gus Dur jatuh tanpa melalui memorandum 1dan 2. Sebab memorandum-1 dan memorandum-2 untuk Gus Dur itu adalah untuk kasus Bulog dan Brunei. Sehingga kalau memorandum-1, memorandum-2 mau dilanjutkan itu melalui Sidang Istimewa 1 Agustus. Nah Gus Dur jatuh pada 23 Juli. Apa yang menjatuhkan Gus Dur? Karena memecat Kapolri Bimantoro dan mengangkat Khaerudin Ismail sebagai Kapolri tanpa persetujuan DPR. Kalau ini alasannya, mestinya ada memorandum satu lagi untuk ini tetapi pada saat itu tanpa hukum jatuh. Itu prosedurnya.

Saya bukan mengatakan penjatuhan itu tidak benar, secara politik Gus Dur itu ugal-ugalan, memang pantas jatuh pada waktu itu. Tapi saya ingin menerangkan bahwa dulu kalau mau menjatuhkan Presiden bukan pakai hukum tapi pakai politik. Bung Karno jatuh juga karena politik, tidak pernah ada hukumnya. Gus Dur sudah saya beri tahu agar tidak mengeluarkan dekrit presiden. Sebenarnya alasan pemecatan Bimantoro itu kan alasan saja tapi yang sebenarnya yang memicu menjatuhkan Gus Dur itu karena mengeluarkan dekrit tengah malam itu: membubarkan MPR, padahal MPR itu terdiri dari semua fraksi, ya langsung dimakan. Jadi jam sebelas malam keluar dekrit, jam satu Ketua DPR datang ke MA minta fatwa dekrit itu sah atau tidak, jam dua fatwa sudah keluar bahwa dekrit itu inkonstitusional, lansung dijatuhkan.

Saya sudah ingatkan bahwa dekrit itu bisa sah kalau menang. Dekrit Presiden dimanapun inkonstitusional, diluar konstitusi. Bung Karno dulu mengeluarkan Dekrit 5 Juli, koq berlaku? Karena menang di dalam pertarungan politik. Kalau saudara baca, tahun 1959 ketika Bung Karno mengeluarkan dekrit, Hatta langsung membuat tulisan judulnya “demokrasi kita apa?” Kata Bung Hatta, Bung Karno sudah melakukan kudeta terhadap negaranya sendiri. Tapi karena menang maka jadilah dekrit itu sebagai sumber hukum baru. Saya katakan kepad Gusdur: “Gus kalau mau mengeluarkan dekrit itu harus yakin menang. Karena kalau tidak menang Presiden bisa diberhentikan, tapi kalau menang itu menjadi hukum baru.” Terus gimana menurut Pak Mahfud? tanya Gus Dur. Saya bilang, Gus, saya ini Menhan. Saya tahu panglima dan para kepala staf tidak mau ada dekrit, tidak mau menndukung. Jadi kalau Gus Dur mengeluarkan dekrit pasti jatuh. Karena panglima, para kepala staf dan Polri akan mendukung MPR yang menganggap dekrit inkonstitusional dan akan dilindungi tentara dan Polri. Waktu itu, Gus DUr menganggap enteng saja. Dia bilang, “Pa Mahfud kan cuman Menhan, saya Presiden lebih tahu, yang tidak setuju kan hanya Panglima dan Kepala Staf tapi jenderal-jenderal yang lain dan tentara seluruh Indonesia itu mendukung saya. Keluarah dekrit itu, ternyata tidak ada yang mendukug dan langsung jatuh!
UUD sekarang ini mengubah cara-cara yang seperti itu, menjatuhkan Presiden hanya karena kekuatan politik. Maka sekarang kalau akan menjatuhkan Presiden lewat MK dulu. Bisa dijatuhkan ditengah jalan Presiden itu tapi minta ijin dulu ke MK. Jadi kalau Presiden mau dijatuhkan, DPR harus ada impeachment, yaitu pendakwaan bahwa Presiden telah melanggar salah satu dari lima hal yang dilarang dilakukan oleh Presiden, yaitu penyuapan, korupsi, pengkhianatan terhadap negara, kejahatan yang diancam hukum 5 ahun ke atas dan melakukan perbuatan tercela. Kalau melakukan salah satu dari kelima hal tersebut DPR membuat impeachment bahwa Presiden telah melanggar dan harus dijatuhkan. Dakwaan DPR harus dihadiri oleh 2/3 dari seluruh anggota dan 2/3 dari anggota yang hadir harus setuju. Kalau kurang dari itu tidak bisa. Nah, kalau DPR sudah, diserahkan ke MK, benar atau tidak dakwaan DPR itu. Misal MK menilai, bahwa ini tidak benar, berhenti. Tidak boleh ada proses penjatuhan. Tapi kalau MK mengaku benar, silakan proses. Nah, disini kembali ke politik, mau dijatuhkan boleh, tidak dijatuhkan juga boleh tapi hukum sudah memberi klarifikasi bahwa memang benar terjadi. Nah, itu cara sekarang, tentu nanti MPR yang akan menjatuhkan vonis apakah Presiden itu akan dihukum apa tidak. Itu contoh bahwa UUD itu sudah berubah dan banyak yang belum tahu sehingga MK dan MPR melakukan sosialisasi UUD.

Pelanggaran terhadap UUD

Terkadang, kalau orang kalau tidak belajar konstitusi, dia tidak menyadari bahwa pelanggaran terhadap konstitusi itu tidak ada hukumannya. Hukuman dalam arti masuk penjara itu ndak ada. Orang bisa dihukum penjara itu karena melanggar undang-undang sebagai pelaksana ketentuan konstitusi. Kalau melanggar UUD itu tidak ada hukumannya. Misalnya, saudara tidak sholat, saudara melanggar Ketuhanan Yang Maha Esa. Ndak ada penjaranya karena tidak sholat. Negara berdasarkan ketuhanan yang Mahaesa, lalu saudara mengatakan, saya tiak beragama. Tidak ada orang dihukum karena tidak beragama. Orang dihukum itu karena melanggar UU yang melaksanakan, menguraikan lebih lanjut ketentuan konstitusi. Misalnya, di dalam konstitusi ada hak asasi manusia bahwa setiap orang mempunyai hak hidup lalu ada UU tentang HAM, barang siapa membunuh orang dengan sengaja diancam hukuman sekian. Orang dihukum karena melanggar UU-nya ini, bukan karena melanggat konstitusinya. Tapi ingat bahwa hampir semua isi konstitusi itu sudah dituangkan uraiannya di dalam undang-undang.

Apa betul orang yang melanggar konstitusi itu tidak dapat dihukum? Tidak bisa, yang bisa adalah hukuman politik. Apa hukuman politik? Kalau Presiden, maka hukumannya dipecat. Kalau Presiden korupsi, itu sudah ada di dalam konstitusi lalu lalu proses hukum tata negara dimintakan konfirmasi ke MK lalu ke MPR mau memecat atau tidak, silakan. Tapi itu konsep korupsi di dalam hukum tata negara, ada juga konsep korupsi di dalam hukum pidana, itu beda lagi. Kalau di dalam hukum pidana korupsi didahului dengan penyelidikan, penyidikan, dakwaan, tuntutan lalu ujungnya penjara. Kalau tata negara tidak ada hukuman penjaranya. Oleh sebab itu kalau ada Presiden oleh MK dinyatakan korupsi itu hukum pidananya boleh jalan sendiri untuk dihukum. Hukum pidana itu bisa mendahului bisa juga dibelakangnya. Ini penting karena ada yang campur aduk. Ada yang mengatakan Presiden tidak dapat dijatuhkan sebelum dijatuhi hukuman pidana, tidak bisa begitu. Padahal hukuman pidana itu bisa bertahun-tahun sampai kasasi sedangkan jabatan Presiden itu hanya lima tahun, sudah habis masa jabatannya hukumannya belum selesai. Maka ada konsep kejahatan dalam hukum tata negara dimana proses hukum seluruhnya harus selesai dalam waktu 90 hari. Ini hal baru yang dulu tidak ada di dalam konsttusi kita. Ini semua tetap mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang ada di dalam dasar ideologi negara kita.

Disampaikan pada saat membuka acara Temu Wicara Mahkamah Konstitusi dan Muhammadiyah dengan tema “Mahkamah Konstitusi Dalam SIstem Ketatanegaraan Republik Indonesia, di Hotel Gran Melia Jakarta, 2 April 2010. Diselenggarakan atas kerja sama MKRI dengan PP Muhammadiyah. [Yunan Hilmy al-Anshary]

Rabu, 07 April 2010

Dien Syamsuddin: NKRI DAN PANCASILA BAGI MUHAMMDIYAH IDEAL DAN FINAL

Pimpinan Pusat Muhammadiyah bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi, untuk kedua kalinya, pada tanggal 2-4 April 2010 menyelenggarakan Temu Wicara Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI di Hotel Gran Melia Jakarta. Acara ini menjadi bagian dari program pendidikan kesadaran berkonstitusi Lembaga Hukum dan HAM PP Muhammadiyah. Kegiatan ini dibuka oleh Prof.Dr. Mahfud MD, Ketua MKRI sekaligus memberikan ceramah kepada para peserta. Pada acara yang dihadiri oleh Lamaga Hukum dan HAM Muhammadiyah se-Indonesia tersebut, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dien Syamsuddin memberikan sambutan dan juga arahan.

Di bawah ini adalah transkrip Sambutan Prof. Dien Syamsuddin yang direkam dan sedikit editing oleh Yunan Hilmy al-Anshary sebagai peserta yang mewakili Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Bekasi.


Prof.Dr. Dien Syamsuddin

Bagi Muhammadiyah konstitusi negara adalah sebuah mahkota dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan Muhammadiyah merasa ikut membentuk konstitusi itu. Jauh sebelum kemerdekaan sejak perdebatan tentang dasar negara yang kemudian melahirkan Piagam Jakarta, terdapat tokoh-tokoh Muhammadiyah. Begitu pula sekitar kemerdekaan, baik pada BPUPKI maupun pada PPKI banyak sekali figur-figur Muhammadiyah di dalam pembahasan dan pedebatan tersebut. Bahkan Ketua PP Muhammadiyah waktu itu Ki Bagoes Hadikoesoemo sangat berjasa dalam menyelamatkan bangsa dan negara baru ketika ada keberatan terhadap tujuh kata pada Piagam Jakarta yang sangat potensial untuk membawa disintegrasi terhadap negara baru. Beliaulah yang mengusulkan perubahan sehingga menjadi Sila pertama pada Pancasila sekarang, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu bagi Muhammadiyah komitmen konstitusional dan khususnya komitmen terhadap NKRI yang berdasarkan Pancasila tidak hanya ideal tapi final.

Oleh karena itu setiap dasawarsa sejak kemerdekaan, Muhammadiyah terlibat secara aktif dalam partisipasi kebangsaan untuk mengisi kemerdekaan itu. Bahkan mengambil alih, kalau boleh disebut demikian, sebagian dari tugas-tugas konstitusional negara atau Pemerintah, seperti pencerdasan kehidupan bangsa, Muhammadiyah ikut berpartisipasi dalam menyelenggarakan sekolah dari tingkat TK hingga perguruan tinggi, termasuk juga pada amar imperatif konstitusi yang lain baik dalam pemberdayaan ekonomi, pelayanan sosial, kesehatan, dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa bagi kita wawasan konsitusional sekaligus komitmen dan kesadaran berkonstitusi haruslah kita kedepankan.

Muhammadiyah mengamati dan mencermati dengan penuh syukur dan kegembiraan kiprah dari Mahkamah Konstitusi (MK) sejak didirikannya beberapa tahun yang lalu, bagi Muhammadiyah ini adalah satu keharusan. MK diharapkan mampu menjadi pendorong utama (prime over) di dalam proses konsolidasi demokrasi Indonesia yang agaknya belum selesai. PP Muhammadiyah dalam konteks itu pula, sebagai amanat sidang Tanwir di Bandar Lampung pada bulan Maret yang lalu mengamanatkan kepada Tim yang terdiri dari 17 pakar Muhammadiyah, telah menghasilkan sebuah pikiran yang bejudul "Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa" sebagai agenda Indonesia lima tahun ke depan yang antara lain membuat pikiran-pikiran, usulan-usulan kepada pemerintah dalam rangka mendorong demokratisasi sekaligus proses demokratisasi yang bertumpu pada nila-nilai etika dan moral. Selain pada bidang ekonomi dan sosial budaya, tidak kalah pentingnya bagi Muhammadiyah adalah revitalisasi karakter bangsa (character nation and character building) tetap menjadi ageda kita untuk masa yang akan datang.

Kita bergembira mengamati MK, khususnya akhir-akhir ini. Di bawah kepemimpinan Prof.Dr. Mahfud yang selain proaktif, responsif tapi ada nuansa keberanian. Nuansa keberanian ini saya rasa sangat mahal, di dalamnya ada prakarsa, di dalamnya ada keberanian itu sendiri yang dalam perspektif teologis Islam orang-orang seperti itu hanyalah orang-orang yang senantiasa bertawakkal kepada Allah Swt. Karena tidak mungkin ada keberanian ketika kita menjadi orang-orang yang terbelenggu oleh orang lain, bukan menjadi orang-orang merdeka. Dan saya berharap orang-orang Muhammadiyah adalah orang yang merdeka.

Maka oleh karena itu pulalah komitmen konstitusional kita khususnya di dalam berorganisasi di Muhamadiyah. Muhammadiyah dinilai sebagai salah satu organisasi yang memiliki dokumen-dokumen keorganisasian dasar yang paling lengkap dan paling kuat dan acuan kita kepada konstitusi sangat kuat juga. Akhir-akhir ini banyak pertanyaan, bagaimana Muktamar yang akan datang? Muhammadiyah mempunyai budaya kepemimpinan yang khas dan kedua juga memiliki mekanisme pemelihan yang khas Muhammadiyah. Dengan dua ini budaya kepemimpinan bagi kami (Muhammadiyah) jabatan itu adalah amanah dan berorganisasi adalah sarana pengabdian. Maka jabatan itu bukan sesuatu yang dicari apalagi dicari-cari dan apalagi diperebutkan. Oleh karena itu semuanya harus mengalir berdasarkan konstitusi. Dan bagi Muhammadiyah, selain Anggaran Dasar dan ART, (semacam) Tata Cara Pemilihan sudah menjadi baku dan itu menjadi bagian dari ART sendiri dan sering diperkuat oleh sidang Tanwir-sidang Tanwir yang merupakan permusyawaratan tertinggi di bawah Muktamar. Maka di dalam Muktamar itu tidak akan ada lagi pembahasan Tata Tertib dan proses pemilihannya panjang: ada pengusulan anggota Tanwir sebagai electoral college kemudian diminta kesediaan dengan persyaratan yang sudah disepakati bersama, masih diteliti lagi oleh sidang yang melekat dengan Muktamar dan masih dipilih lagi oleh Muktamar dan pemilihan itu bersifat kolektif.

Maka ketika banyak orang bertanya kepada saya, apakah ada kemungkinan intervensi terhadap Muktamar Muhammadiyah, saya katakan mungkin-mungkin saja karena di dalam kehidupan politik selalu ada interest apalagi dalam kaitan konstelasi politik kita dewasa ini dengan multi party system dan tentu partai-partai politik berkepentingan dengan ormas-ormas. Sementara kita merasa, “ormas bagaikan lembu punya susu tapi sapi punya nama, ormas punya anggota tapi partai politik yang memanfaatkannya.” Ini tetap menjadi diskusi-diskusi intern Muhammadiyah maka saya berkeyakinan apa yang dikhawatirkan oleh pihak-pihak luar itu tidak akan terjadi karena saya yakin pimpinan Muhammadiyah seperti yang hadir di ruang ini adalah orang-orang cerdas, adalah orang-orang merdeka yang tentu mereka sangat mengedepankan konstitusi organsasi.

Oleh karena itu poin saya yang terakhir, tidak hanya komitmen kesadaran konstitusional kita terhadap negara yang tidak hanya pernyataan final dan ideal tapi juga ada tanggung jawab pengisian yang dilakukan muhammadiyah selama ini dan Muhammadiyah tidak pernah lelah dalam hampir seratus tahun usianya untuk berkiprah bagi bangsa dan negara. Saya sering katakan di daerah-daerah, siapapun pemerintahnya Muhammadiyah tetap berhidmat bagi bangsa dan negara. Siapapun Presidennya Muhammadiyah tidak pernah kenal lelah untuk berkiprah bagi bangsa dan negara.

Kegiatan ini sangat baik sekali, manfaatkanlah untuk pendalaman kita terhadap konstitusi negara kita dan yang tidak kalah penting bagaimana hasil dari temu wicara ini dapat diteruskan, disosialisasikan ke lingkungan-lingkungan persyarikatan tingkat daerah, cabang, ranting, dalam komunitas yang lebih kecil lagi: jamaah Muhammadiah, amal-amal usaha Muhammadiyah, organisasi-organisasi otonom sehingga kegiatan ini akan bermakna. Kerja sama ini perlu diteruskan.

Kedepan kita siap bekerjasama dengan MK dan Muhammadiyah dalam konteks konsolidasi demokrasi di Indonesia, siap sedia berada di belakang MK untuk menegakkan konstitusi sebagai pedoman kita dalam berbangsa dan bernegara.