Sabtu, 10 April 2010

MUHAMMADIYAH DAN KOMITMEN BERKONSTITUSI

Prof.Dr. Mahfud MD
Ketua Mahkamah Konstitusi RI

Hidup sebagai bangsa di dalam sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan bersepakat memilih satu dasar negara yang kita sebut Pancasila merupakan komitmen kita bersama. Bahkan Prof. Dien Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah, menyatakan pilihan Pancasila dan NKRI adalah tidak saja ideal akan tetapi juga final. Dulu, ketika hari ulang tahun Muhammadiyah di kantornya Pak Dien Syamsuddin, saya mengatakan Indonesia itu sebenarnya kalau Muhammadiyah dan NU menyatakan tidak setuju Pancasila, saya kira tidak ada Indonesia. Coba anda bayangkan, dengan puluhan juta anggota Muhammadiyah dan NU, baik yang secara resmi menjadi anggota organisasi sebagai jamiyyah maupun jama’ah. Sesungguhnya Indonesia beruntung punya NU dan Muhammadiyah.

Bahkan Pancasila itu juga disusun oleh Ki Bagus Hadikusumo, Kahar Muzakir, Kasman Singodimejo (tokoh muhammadiyah), dari NU ada Wahid Hasyim dsb. Nah ini kalo bukan atas dukungan Muhammadiyah dan NU, sekarangpun misalnya hari ini kalau Muhammadiyah dan NU mengumumkan tidak terima Pancasila, habis, negara ini, bubar. Oleh sebab itu inilah yang harus diingat oleh seluruh elemen bangsa Indonesia. Betapa Islam melalui Muhammadiyah dan NU di Indonesia telah memberikan sumbangan berupa kebangkitan dan kebangunan serta eksistensi NKRI sebagai pilihan keyakinan. Memang ada pikiran-pikiran yang agak ekstrim tapi itu sangat kecil. Percayalah bahwa pilihan Muhammadiyah dan NU itu adalah hasil ijtihad para ulama yang ilmu agamanya sudah sangat tinggi sehingga kita sebagai pengikutnya tidak perlu mempersoalkan lagi kecuali mendiskusikan pengembangan-pengembanannya untuk aktualisasi. Jangan sampai merasa keislaman kita belum sempurna. Ki Bagus Hadikusumo dan Kyai Wahid Hasyim yang sudah berdiskusi dengan orgnanisasinya masing-masing bahwa Pancasila ini adalah pilihan yang tepat bagi NKRI yang dalam sejarah disebut sebagai Negara Indonesia dengan Pancasilanya adalah “darussalam” negara yang damai.

Negara Indoensia itu bukan negara Islam tapi negeri muslim atau negara Indonesia bukan negara Islam tapi negara islami. Kalau negara Islam itu selalu menginginkan silmbol-simbol keagamaan. Tapi kalau negara islami tidak perlu.Islam adalah sifat. Oleh sebab itu yang diperjuangkan justru nilai-nilai yang sifatnya universal dari ajaran Islam yang diterima oleh semua manusia. Misalnya kalau bicara keadilan, nilai keadilan. Itu bukan hanya Islam tapi islami. Keadilan, siapa yang menolak keadilan? Agama apa yang menolak? Dengan istilah keadilan maka semua orang merasa diayomi. Tapi kalau mengatakan: saya mau menegakkan hukum Islam, dilawan. Coba, kasus UU Pornografi. Itu dulu sudah masuk di dalam Prolegnas lama. Kita sudah bersepakat bahwa UU Pornografi itu penting untuk melindungi moral bangsa ini (diluar soal industrinya). Nah itu dulu sudah diterima oleh semua fraksi. Fraksi yang Islam dan tidak Islam setuju semua. Karena, itu demi moral bangsa. Tapi begitu RUU ini muncul dibentuk Pansusnya lalu muncul isu bahwa ini adalah untuk memberlakukan hukum agama tentang aurat. Lalu didukung oleh demo-demo orang berpakaian tertentu yang menggambarkan bahwa itulah Islam. Orang yang tadinya setuju menjadi tidak setuju padahal substansinya sama. Dulu semua setuju tapi ketika disimbolkan dengan simbol-simbol keagamaan, dilawan. Sesudah diundangkanpun akhirnya dipotong dari sekian pasal, dipotong lagi sampai dicapai kompromi, setelah menjadi UU masih juga digugat ke MK. Kenapa? Karena simbol yang diperjuangkan.

Kita dulu mendirikan negara RI seperti ini dengan menyadari sepenuhnya sebagai muslim, kita sudah bersepakat tidak akan memperjuangkan simbol-simbol ajaran itu tapi substansi. Misalnya, kita harus memilih pemimpin yang jujur, nah itu substansi ajaran Islam. Kita memilih pemimpin-pemimpin yang demokratis, itu substansi ajaran Islam dan kita tidak melanggar ajaran agama, tidak mengkhianati apa yang diperintahkan oleh agama terhadap kita. Jadi soal Islam dan Pancasila, ideal sekaligus final. Ini ungkapan yang sangat bagus, saya baru dengar hari ini karena yang selama ini, kalau di NU itu sudah final. Sekarang ditambah ideal, tambah ilmu lagi saya dari Prof. Dien Syamsuddin.

Pancasila sebagai dasar negara itu sudah selesai, dan itu diuraikan di dalam UUD. Pancasila itu ada di Pembukaan yang kita sebut sebagai dasar ideologi negara atau dalam istilah agama “mitsaaqon gholidlo”, ikatan luhur. Kemudian diatur dalam pasal-pasal. Pasal-pasal ini sekarang sudah berubah. idealnya tidak tapi teknis pemerintahannya sudah berubah, sehingga kita baru kenal Mahkamah Konstitusi. Apa itu MK? MK itu adalah produk perubahan UUD dan MK itu hanya salah satu saja dari perubahan UUD, karena sejak 2002 setelah empat tahap perubahan lalu struktur ketatanegaraan kita berubah. Sekarang kita tidak lagi mempunyai lembaga tertinggi negara yang namanya MPR. MPR itu sekarang lembaga negara bukan tertinggi. Lembaga negara itu sekarang ada tujuh yang dianggap sejajar. (1) MPR, (2) DPR, (3) DPD, (4) Presiden, (5) MA ,(6) MK , dan (7) BPK. Ini lembaga negara utama, ditambah lembaga negara pendukung Komisi Yudiasial, ini dulu tidak ada. Kita harus memahami perubahan konstitusi ini.

Diantara bentuk perubahan itu, misalnya, dulu sebelum UUD 1945 ini diamandemen, Presiden bisa dijatuhkan sewaktu-waktu melalui proses politik, bergantung kuat-kuatan secara politik. Pak Harto jatuh karena tekanan politik yang kuat dari rakyat terutama mahasiswa. Tidak pernah ada proses hukum terhadap kejatuhan pak Harto. Pak Harto turun tidak melalui prosedur normal konstitusional, tapi karena tekanan politik. Demikian juga dengan Gus DUR. Gus Dur dijatuhkan dengan dakwaan penyalahgunaan uang Bulog dan dana hibah dari Sultan Brunai. Gus Dur itu sudah melalui prosedur Tap MPR Memorandum-1, memorandum-2. Mestinya dia jatuh di dalam sidang istimewa berdasarkan memorandum itu, tetapi saya kira banyak yang tidak tahu bahwa Gus Dur jatuh tanpa melalui memorandum 1dan 2. Sebab memorandum-1 dan memorandum-2 untuk Gus Dur itu adalah untuk kasus Bulog dan Brunei. Sehingga kalau memorandum-1, memorandum-2 mau dilanjutkan itu melalui Sidang Istimewa 1 Agustus. Nah Gus Dur jatuh pada 23 Juli. Apa yang menjatuhkan Gus Dur? Karena memecat Kapolri Bimantoro dan mengangkat Khaerudin Ismail sebagai Kapolri tanpa persetujuan DPR. Kalau ini alasannya, mestinya ada memorandum satu lagi untuk ini tetapi pada saat itu tanpa hukum jatuh. Itu prosedurnya.

Saya bukan mengatakan penjatuhan itu tidak benar, secara politik Gus Dur itu ugal-ugalan, memang pantas jatuh pada waktu itu. Tapi saya ingin menerangkan bahwa dulu kalau mau menjatuhkan Presiden bukan pakai hukum tapi pakai politik. Bung Karno jatuh juga karena politik, tidak pernah ada hukumnya. Gus Dur sudah saya beri tahu agar tidak mengeluarkan dekrit presiden. Sebenarnya alasan pemecatan Bimantoro itu kan alasan saja tapi yang sebenarnya yang memicu menjatuhkan Gus Dur itu karena mengeluarkan dekrit tengah malam itu: membubarkan MPR, padahal MPR itu terdiri dari semua fraksi, ya langsung dimakan. Jadi jam sebelas malam keluar dekrit, jam satu Ketua DPR datang ke MA minta fatwa dekrit itu sah atau tidak, jam dua fatwa sudah keluar bahwa dekrit itu inkonstitusional, lansung dijatuhkan.

Saya sudah ingatkan bahwa dekrit itu bisa sah kalau menang. Dekrit Presiden dimanapun inkonstitusional, diluar konstitusi. Bung Karno dulu mengeluarkan Dekrit 5 Juli, koq berlaku? Karena menang di dalam pertarungan politik. Kalau saudara baca, tahun 1959 ketika Bung Karno mengeluarkan dekrit, Hatta langsung membuat tulisan judulnya “demokrasi kita apa?” Kata Bung Hatta, Bung Karno sudah melakukan kudeta terhadap negaranya sendiri. Tapi karena menang maka jadilah dekrit itu sebagai sumber hukum baru. Saya katakan kepad Gusdur: “Gus kalau mau mengeluarkan dekrit itu harus yakin menang. Karena kalau tidak menang Presiden bisa diberhentikan, tapi kalau menang itu menjadi hukum baru.” Terus gimana menurut Pak Mahfud? tanya Gus Dur. Saya bilang, Gus, saya ini Menhan. Saya tahu panglima dan para kepala staf tidak mau ada dekrit, tidak mau menndukung. Jadi kalau Gus Dur mengeluarkan dekrit pasti jatuh. Karena panglima, para kepala staf dan Polri akan mendukung MPR yang menganggap dekrit inkonstitusional dan akan dilindungi tentara dan Polri. Waktu itu, Gus DUr menganggap enteng saja. Dia bilang, “Pa Mahfud kan cuman Menhan, saya Presiden lebih tahu, yang tidak setuju kan hanya Panglima dan Kepala Staf tapi jenderal-jenderal yang lain dan tentara seluruh Indonesia itu mendukung saya. Keluarah dekrit itu, ternyata tidak ada yang mendukug dan langsung jatuh!
UUD sekarang ini mengubah cara-cara yang seperti itu, menjatuhkan Presiden hanya karena kekuatan politik. Maka sekarang kalau akan menjatuhkan Presiden lewat MK dulu. Bisa dijatuhkan ditengah jalan Presiden itu tapi minta ijin dulu ke MK. Jadi kalau Presiden mau dijatuhkan, DPR harus ada impeachment, yaitu pendakwaan bahwa Presiden telah melanggar salah satu dari lima hal yang dilarang dilakukan oleh Presiden, yaitu penyuapan, korupsi, pengkhianatan terhadap negara, kejahatan yang diancam hukum 5 ahun ke atas dan melakukan perbuatan tercela. Kalau melakukan salah satu dari kelima hal tersebut DPR membuat impeachment bahwa Presiden telah melanggar dan harus dijatuhkan. Dakwaan DPR harus dihadiri oleh 2/3 dari seluruh anggota dan 2/3 dari anggota yang hadir harus setuju. Kalau kurang dari itu tidak bisa. Nah, kalau DPR sudah, diserahkan ke MK, benar atau tidak dakwaan DPR itu. Misal MK menilai, bahwa ini tidak benar, berhenti. Tidak boleh ada proses penjatuhan. Tapi kalau MK mengaku benar, silakan proses. Nah, disini kembali ke politik, mau dijatuhkan boleh, tidak dijatuhkan juga boleh tapi hukum sudah memberi klarifikasi bahwa memang benar terjadi. Nah, itu cara sekarang, tentu nanti MPR yang akan menjatuhkan vonis apakah Presiden itu akan dihukum apa tidak. Itu contoh bahwa UUD itu sudah berubah dan banyak yang belum tahu sehingga MK dan MPR melakukan sosialisasi UUD.

Pelanggaran terhadap UUD

Terkadang, kalau orang kalau tidak belajar konstitusi, dia tidak menyadari bahwa pelanggaran terhadap konstitusi itu tidak ada hukumannya. Hukuman dalam arti masuk penjara itu ndak ada. Orang bisa dihukum penjara itu karena melanggar undang-undang sebagai pelaksana ketentuan konstitusi. Kalau melanggar UUD itu tidak ada hukumannya. Misalnya, saudara tidak sholat, saudara melanggar Ketuhanan Yang Maha Esa. Ndak ada penjaranya karena tidak sholat. Negara berdasarkan ketuhanan yang Mahaesa, lalu saudara mengatakan, saya tiak beragama. Tidak ada orang dihukum karena tidak beragama. Orang dihukum itu karena melanggar UU yang melaksanakan, menguraikan lebih lanjut ketentuan konstitusi. Misalnya, di dalam konstitusi ada hak asasi manusia bahwa setiap orang mempunyai hak hidup lalu ada UU tentang HAM, barang siapa membunuh orang dengan sengaja diancam hukuman sekian. Orang dihukum karena melanggar UU-nya ini, bukan karena melanggat konstitusinya. Tapi ingat bahwa hampir semua isi konstitusi itu sudah dituangkan uraiannya di dalam undang-undang.

Apa betul orang yang melanggar konstitusi itu tidak dapat dihukum? Tidak bisa, yang bisa adalah hukuman politik. Apa hukuman politik? Kalau Presiden, maka hukumannya dipecat. Kalau Presiden korupsi, itu sudah ada di dalam konstitusi lalu lalu proses hukum tata negara dimintakan konfirmasi ke MK lalu ke MPR mau memecat atau tidak, silakan. Tapi itu konsep korupsi di dalam hukum tata negara, ada juga konsep korupsi di dalam hukum pidana, itu beda lagi. Kalau di dalam hukum pidana korupsi didahului dengan penyelidikan, penyidikan, dakwaan, tuntutan lalu ujungnya penjara. Kalau tata negara tidak ada hukuman penjaranya. Oleh sebab itu kalau ada Presiden oleh MK dinyatakan korupsi itu hukum pidananya boleh jalan sendiri untuk dihukum. Hukum pidana itu bisa mendahului bisa juga dibelakangnya. Ini penting karena ada yang campur aduk. Ada yang mengatakan Presiden tidak dapat dijatuhkan sebelum dijatuhi hukuman pidana, tidak bisa begitu. Padahal hukuman pidana itu bisa bertahun-tahun sampai kasasi sedangkan jabatan Presiden itu hanya lima tahun, sudah habis masa jabatannya hukumannya belum selesai. Maka ada konsep kejahatan dalam hukum tata negara dimana proses hukum seluruhnya harus selesai dalam waktu 90 hari. Ini hal baru yang dulu tidak ada di dalam konsttusi kita. Ini semua tetap mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang ada di dalam dasar ideologi negara kita.

Disampaikan pada saat membuka acara Temu Wicara Mahkamah Konstitusi dan Muhammadiyah dengan tema “Mahkamah Konstitusi Dalam SIstem Ketatanegaraan Republik Indonesia, di Hotel Gran Melia Jakarta, 2 April 2010. Diselenggarakan atas kerja sama MKRI dengan PP Muhammadiyah. [Yunan Hilmy al-Anshary]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar konstruktif dan bertanggung jawab