Jumat, 30 April 2010

NEGERI EWUH PAKEWUH

Tiba-tiba saja istilah ‘simbol negara’ menjadi poluler beberapa hari ini. Gara-garanya Pak Boediono yang kebetulan sekarang menjabat sebagai Wakil Presiden diperiksa oleh KPK (Kamis, 29 April 2010). Ada yang mengatakan bukan diperiksa tapi hanya dimintai keterangan. Ini khas Indonesia. Istilah ‘simbol negara’ itu justru dimunculkan antara lain oleh KPK sendiri melalui wakil ketuanya Moch. Jasin dan dijadikan sebagai dalil (=dalih?) mengapa Pak Boediono tidak datang ke KPK namun didatangi (jawa=disowani) oleh Tim Penyidik KPK untuk diperiksa. Alasannya, Pak Boediono sekarang menjabat sebagai Wakil Presiden yang notabene simbol negara, oleh karena itu kita harus menghormatinya.

Sesungguhnya negeri dan bangsa ini sudah bulat melalui reformasi konstitusinya, menisbatkan dirinya bahwa negara RI tercinta ini adalah negara hukum. Di dalamnya terkandung pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, juga adanya persamaan setiap warga negara dalam hukum. Prinsip equality before the law tersebut sangat jelas dan tegas tercantum dalam ketentuan Pasal 28D UUD NRI 1945. Maknanya, negara menjamin tiadanya perbedaan perlakuan atas warga negara yang terkait dengan masalah hukum, siapapun dia.

Bila demikian dalilnya, apa masalahnya bila seorang Boediono diperiksa di Kantor KPK, apalagi pemeriksaan itu terkait dengan masalah ketika Boediono menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia. Bukankah dengan kedatangan Pak Boediono yang rendah hati itu mau diperiksa di KPK justru akan menunjukkan kebesaran jiwanya dan kenegarawanannya? Alangkah terhomatnya beliau karena hormatnya kepada hukum. Mengapa KPK tidak menjalankan saja kewenangan yang berdasarkan UU itu dengan percaya diri? Ada apa dengan lembaga yang masih dipercaya dan digadang-gadang rakyat sebagai pendobrak dan pendorong Indonesia yang bebas dari korupsi, menjadi pemimpin dan penggerak perubahan untuk Indonesia bebas korupsi? Alangkah terhormatnya bila KPK tidak memberlakukan keistimewaan yang kurang proporsional.

Hukum di negeri ini,senyatanya, memang bukanlah panglima. Dia masih menjadi 'komoditas jual-beli'. Bahkan ketika dia harus ditegakkan, jurus ewuh pakewuh atau rasa sunkan-lah yang ‘harus’ diterapkan utamanya ketika harus berhadapan dengan pejabat negara. Bukankan karena fitrahnya KPK akan banyak berhadapan dengan penyelenggara negara yang terlibat tindak pidana korupsi? Sampai kapankah KPK akan terus menggunakan ‘mitos’ simbol negara dalam menjalankan tugasnya?

wapres = simbol negara?

Entah dari mana istilah ‘simbol negara’ itu diambil sebagai dasar perlakuan (treatment) terhadap Pak Boediono. Saya setuju, tidak ada perdebatan untuk menghormati Pak Boedino sebagai Wakil Presiden RI. Namun, adakah istilah itu disebut-disebut di dalam konstitusi kita, UUD NRI 1945? Dalam ketentuan manakah dari UUD kita yang menyebutkan bahwa ‘wakil presiden’ adalah simbol negara?

Bila kita tengok UUD NRI 1945, disana hanya ada penyebutan: bendera negara Indonesia ialah Sang Merah Putih, bahasa negara ialah Bahasa Indonesia, lambang negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, dan lagu kebangsaan ialah Indonesia Raya (Pasal 35, Pasal 36, Pasal 36A, Pasal 36B). Bahkan hal tersebut kemudian diatur lebih khusus dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaaan. Itulah sesungguhnya yang oleh UU 24 Tahun 2009 disebut sebagai 'simbol' identitas wujud eksistensi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.(Lihat Pasal 2). Simbol tidak akan berubah meski wapres-nya berganti-ganti.

Kalau wapres saja tidak ditemukan rujukannya dalam konstitusi maupun perundang-undangan yang menyebutnya sebagai simbol negara, apatah lagi menteri keuangan? Pemeriksaan Sri Mulyani yang kebetulan Menteri Keuangan terkait kasus Century di kantornya rasa-rasanya menampar rasa keadilan rakyat dan kurang berdayanya KPK.

Kita berharap hukum masih bisa semerbak harum. Kita masih berharap dengan KPK. Kitapun harus optimis bahwa ke depan KPK harus kuat dan dipimpin pula oleh orang yang kuat. Meminjam istilah Buya Syafii Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah, KPK harus dipimpin oleh orang yang ‘agak gila’. Dia berani dan tegas karena dia sudah selesai. Tidak lagi memikirkan jabatan, kekuasaan, dan apalagi uang. Yang dia pikirkan adalah Indonesia yang bersih dan bermartabat.

Wa Allahu a’lam bish-showab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar konstruktif dan bertanggung jawab