Selasa, 14 September 2010

JANGAN BIARKAN FITRI MEMUDAR

H+4. Popularitas Idul Fitri itu kini mulai memudar seiring kembalinya rutinitas yang ditandai dengan berakhirnya kalender cuti bersama. Beribu episode lebaran pun segera usai. Melalui strategi dan serunya perjalanan, para pemudik juga sudah kembali dari pulkamnya masing-masing. Kini mau gak mau kita harus kembali dengan rutinitas, khusushon hiruk pikuk aktifitas kejar tayang akhir tahun.

Lantas, adakah makna ramadan buat kita? Terasakah kita sebagai pemenang sejati di saat Idul Fitri?

Pertanyaan itu selalu membuat kita miris. Puasa di bulan Ramadhan dan Idul Fitri di bulan Syawwal sesungguhnya merupakan satu kesatuan rangkaian. Kemenangan saat merayakan Idul Fitri tidaklah mungkin diraih tanpa kita 'berkeringat' di bulan Ramadan. Kemenangan itu memang hakikatnya hanya milik mereka yang berpuasa secara serius penuh iman dan keikhlasan, untuk mereka yang memenuhi puasanya dengan berbagai kesibukan amaliyah pendekatan diri kepada Sang Khaliq untuk mengasah jiwanya. Itulah yang membuat diri menjadi fitri kembali.

Berbahagialah setiap kita yang sukses ramadannya karena insya Allah itulah pemenangnya. Kemenangan atau keberuntungan (al-faizin) tidaklah identik dengan materi: baju baru, mobil baru, HP baru, etcetera, etcetera. Kemenangan juga tidak identik bagi mereka yang bisa pulkam lengkap dengan aksesori dunia yang menyertainya.

Prof. Quraish Shihab menyatakan, dari 29 kali perulangan kata fawz (akar kata dari al-faizin) di dalam al-Quran dengan berbagai bentukannya hanya satu kata (afuzu) yang bermakna materi, itupun untuk menggambarkan ucapan orang munafik yang memahami keberuntungan sebagai keberuntungan yang bersifat materi (QS 4:73). Sedangkan pada ayat-ayat yang lain mengandung makna “pengampunan dan keridhaan Tuhan serta kebahagiaan surgawi”.

Kita tentu berharap bukan kemenangan semu yang kita raih, yakni kemenangan yang lebih bersifat materialistik dan kering makna. Namun sebaliknya, memperoleh kemenangan sejati, yakni pribadi yang kembali kepada fitri, kembali kepada kesucian, kembali kepada agama yang benar dan memperoleh pengampunan dan keridhaan Allah Swt. Dan kefitrian kita itu mewarnai kinerja kita sepanjang tahun hingga datangnya kembali ramadan tahun depan. Bila seperti itu insya Allah hikmah puasa dan kefitrian kita menjadi kontekstual yang melahirkan berbagai maslahat. Amien.

Minal Aidin wal Faizin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar konstruktif dan bertanggung jawab