Kamis, 28 Mei 2009

MENDADAK PESONA



Hebat, perhelatan pilpres jaman sekarang. Serba professional, terencana dan sangat detil. Si calon tidak usah pusing karena segala sesuatunya sudah dipersiapkan oleh tim suksesnya masing-masing. Apa yang harus diomogin, cara bicara yang anggun, bagaimana cara berjalan yang baik dan benar, cara makan dan minum di depan umum. Bagaimana cara senyum dan tertawa termasuk ketentuan berapa sentimeter mulut boleh terkembang ketika tertawa, dan tidak ketinggalan, baju atawa pakaian apa yang musti dikenakan sesuai dengan umpan papan. Pokoke layaknya menyiapkan seorang pelakon utama sebelum take gambar untuk sebuah sinetron, sesuai dengan arahan sang sutradara.

Lazimnya pelakon, tentu tidak usah dipikirkan bagaimana watak, perilaku dan kebiasaan asli sang pelakon itu. Pokoknya yang penting penonton harus dipuaskan dan sebisa mungkin dibuat mlongo atawa ternganga dengan melihat tampilan sang pelakon. Sebisa mungkin bagaimana kemasan akan melambungkan imajinasi yang spektakuler bagi yang melihatnya. Sang produser dan sutradara haqul yakin bahwa semua itu menjadi bagian yang maha penting dan signifikan untuk menjerat dan memikat hati penonton, bahkan tidak itu saja, bisa menaikkan rating.

Pilpres sudah tinggal sedepa. Tim sukses pemenangan pilpres pun pontang-panting sibuk gak karo-karoan. Atur strategi, taktik dan teknik jitu sesuai dengan jurus dan keyakinan masing-masing. Pilpres harus dimenangkan, tidak ada pilihan lain. Buat image seanggun dan sedahsyat mungkin. Keyakinan bahwa politik adalah seni segala kemungkinan, maka semua harus dibuat mungkin. Bila sehari-hari kelihatan tidak islami, si-calon harus dibuat mendadak se-islami mungkin. Hal-hal yang terkait dengan simbol-simbol muslim harus diperhatikan, seperti: peci, kerudung, mengunjungi pesantren, dll.
Ketika pasar pemilih menghendaki keberpihakan kepada rakyat kecil, maka lupakanlah kebiasaan yang berbanding terbalik dengan aslinya, yang penting tampil jago membela rakyat kecil, menjaga keutuhan NKRI, Pancasila dan segudang simbol-simbol yang lain. Ketika (masih) calon betapa jawaranya. Ketika (sudah) jadi, semua 'boleh' dinafikan, dilupakan.

Akankah pragmatisme kini sudah menjadi ‘agama’ baru bagi dunia perpolitikan kita? Pragmatism merupakan fitrah politik berikut seluruh produknya? Rebutan kursi kekuasaan apapun metodenya. Tidak sinkron-nya kata dan perbuatan menjadi sesuatu yang sah-sah saja. Menipu, menyikut dan menjegal kawan dan lawan sudah menjadi sesuatu yang lazim. Membohongi rakyat dan pemilih sudah menjadi resep biasa, jurus kutu loncat, etc, etc.
Itukah yang membuat parpol-parpol yang ada sekarang menjadi sama, sulit dibedakan satu dengan yang lain?

Akankah harus menjadi hilang dan tabu bagi politik berbicara idealisme, teguh akan prinsip, akhlaqul karimah? Quo vadis demokrasi?

http://www.facebook.com/note.php?saved&&suggest¬e_id=108267914061#/profile.php?id=1471710476&ref=profile

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar konstruktif dan bertanggung jawab