Selasa, 05 Mei 2009

UU PENAFSIRAN UNDANG-UNDANG: Perlukah?



Yunan Hilmy al-Anshary

Belantara hukum di negeri ini disadari banyak menyimpan masalah, tidak terkecuali di bidang perundang-undangan. Tidak jarang penerapan dan penegakan hukum mengalami carut marut disebabkan adanya perbedaan penafsiran undang-undang (UU). Untuk menyebut sekedar contoh adalah tentang definisi ‘barang’ (ingat, yurisprudensi putusan hakim Bismar Siregar). Definisi “setiap orang” pada UU Tindak Pidana Pencucian Uang, didefinisikan orang perseorangan atau korporasi, yang berbeda dengan definisi “barang siapa” dalam KUHP yang menunjuk pada orang dan tidak korporasi. Contoh yang masih agak aktual, konon, KPU pernah menafsirkan batas maksimal sumbangan dalam bentuk uang yang boleh diterima sebagai dana kampanye dengan menafsirkannya untuk “satu kali transaksi”, bukan jumlah kumulatif. KPU juga dianggap salah menafsirkan ketentuan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pileg terkait dengan aturan pembagian kursi dari sisa suara yang tidak mencapai BPP, sebagaimana dituangkan di dalam Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009.

Demikian pula definisi-definisi yang kerap dijumpai dalam peraturan perundang-undangan berbeda satu sama lain. Masalahnya adalah apakah memang harus berbeda ataukah dapat ditafsirkan secara tunggal? Bila dapat ditafsirkan secara tunggal, dapatkah definisi yang bermunculan secara berulang dalam setiap undang-undang ditentukan dalam satu wadah undang-undang?

Interpretation Act

Di beberapa negara, pemberlakuan asas ataupun doktrin serta definisi yang ditafsirkan secara tunggal dituangkan dalam suatu Undang-Undang (Act). Australia misalnya, dikenal adanya “An Act for the Interpretation of Acts of Parliament and for Shortening their Language (1901)” disingkat: “Acts Interpretation Act 1901” atau Undang-Undang tentang Penafsiran Perundang-undangan.

Interpretation Act Australia berisi antara lain tentang kapan suatu UU dianggap berlaku, bagaimana UU dibatalkan dan kadaluarsa, hal-hal teknis yang terkait dengan perundang-undangan, aturan konstruksi UU, definisi yang kerap digunakan dalam UU, hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan kekuasaan dan tugas-tugas, dan operasional badan-badan kenegaraan, dan lain sebagainya.

Marjorie Todd, Asisten Menteri pada Office and Legislative Drafting and Publishing, Attornes-General’s Department (AGD) Australia, saat berbicara pada Diskusi Interaktif Penafsiran Undang-Undang di Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, Departemen Hukum dan HAM, 29 April 2009, menjelaskan pengalaman Australia dalam menggunakan UU Penafsiran Perundang-Undangan (AIA).

AIA adalah sebuah UU yang berlaku atas seluruh peraturan perundang-undangan dari yurisdiksi yang bersangkutan. Namun peraturan perundang-undangan di yurisdiksi tersebut mungkin saja menetapkan bahwa AIA tidak berlaku. Hal ini disebut “kehendak berbeda/contrary intention”. Dalam hukum Australia, AIA sangat penting bagi penyusun rancangan peraturan perundang-undangan, pengacara, hakim, para pejabat dan pengguna lain peraturan perundang-undangan. Kini AIA telah berusia lebih dari seratus tahun.

Untung-rugi

Bagi Australia, ada keuntungan dan kerugian dengan memiliki sebuah AIA, tetapi secara umum keuntungannya jauh melampaui kerugiannya. Kerugian yang paling utama adalah tidak semua pembaca UU tahu bahwa peraturan ini ada dan mereka perlu menggunakannya. Pada sisi lain, sebuah UU yang tergantung pada AIA untuk sebagian definisi dan aturannya berarti UU tidak terlengkapi sendiri (self-contained). Sedangkan keuntungannya antara lain adalah: (1) membentuk konsistensi dalam perundang-undangan dan membuat UU lebih ringkas. Hal-hal yang telah dibahas dalam AIA tidak perlu diulangi lagi di UU yang lain; (2) penggunaan definisi AIA di UU mencegah kemungkinan istilah yang sama ditafsirkan secara berbeda pada UU yang berbeda; (3) menyetandarkan kebijakan mengenai istilah-istilah yang sering dipergunakan; (4) AIA telah mengodifikasi hukum yurisprudensi (common law) yang berkaitan dengan persoalan tertentu.

AIA dapat pula berlaku sebagai kamus dan panduan yang harus dipergunakan saat membaca peraturan perundang-undangan Australia. Ketentuan dalam UU ini berlaku atas semua UU lain, tetapi pemberlakuan AIA tergantung pada adanya kehendak berbeda (contrary intention). Denga kata lain, sebuah UU tertetnu dapat menetapkan bahwa AIA tidak berlaku bagi UU terebut atau suatu ketentuan dalam UU tersebut.

Topik

Secara umum, apakah sebuah topik tertentu patut untuk dimasukkan ke dalam AIA, antara lain diputuskan berdasarkan pertanyaan:
Apakah ada kebijakan yang harus ditetapkan secara umum atau harus menjadi ketentuan yang pasti dijalankan jika tidak ada ketentuan lainnya?
Dapatkan kebijakan umum ini dipaparkan dalam bentuk yang dapat diterapkan secara umum?
Apakah ketentuan standar ini bersifat vital bagi pemahaman umum dari konsep sebuah UU?
Apakah hal itu akan menyederhanakan penyusunan naskah, mendorong konsistensi antar perundang-undangan, atau mempersingkat UU?

Hubungan AIA dengan yurisprudensi (common law)

Hukum Australia didasarkan pada hukum yurisprudensi (putusan hakim) dan juga perundang-undangan. Awalnya, di Australia tidak banyak peraturan perundang-undangan. Namun semakin pesat kemajuan dan rumitnya masyarakat modern telah menuntut meningkatnya kebutuhan akan UU. Salah satu keuntungan perundang-undangan adalah bisa dibuat secara cepat daripada menunggu hasil putusan pengadilan. UU juga memastikan Pemerintah akan mendapat hasil yang diinginkan. Dalam sistem Australia, UU memiliki urutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan case law.

Pengadilan memiliki tugas untuk memberi makna bagi sebuah ketetapan UU, betapapun kaburnya makna dari UU tersebut. Aturan tata urutan perundangan sedikit diubah dalam kaitannya dengan penafsiran peraturan perundang-undangan. Secara sederhana pengadilan tidak terikat oleh keputusan pengadilan yang lain saat menafsirkan kata-kata di dalam sebuah perundang-undangan yang bukan merupakan perundang-undangan yang dibahas dalam keputusan pengadilan sebelumnya. Putusan dari pengadilan yang lebih tinggi menyangkut kata-kata yang serupa, tetapi UU yang berbeda dapat memberi anjuran tetapi tidak mengikat.
AIA mengganti aturan-aturan hukum yurisprudensi tentang penafsiran UU sehingga memberikan aturan yang pasti dalam penafsiran perundang-undangan.

BAGAIMANA DI INDONESIA?

Harus didudukkan bahwa di dalam textbook, penafsiran hukum merupakan hanya sebagian saja dari penemuan hukum. Di Inggris, pangkal tolak penafsiran adalah gramatikal atau word by word. Doktrin yang berlaku adalah hakim harus berpegang teguh pada literal. Sistem kontinental, sebagaimana dianut pula oleh Indonesia, tidak menempatkan gramatikal sebagai pangkal tolak, melainkan kepada maksud tujuan pembentuk undang-undang.

Penafsiran pada umumnya merupakan konsekuensi dari hukum tertulis (kodifikasi). Salah satu kelemahan hukum tertulis adalah hanya merupakan deskripsi keadaan faktor-faktor dominan pada waktu hukum itu dibuat dan pada umumnya dibuat oleh ahli-ahli teori hukum.

Sekarang ini tren dunia menunjukkan hukum tertulis makin dominan. Parlemen Inggris membuat UU dalam jumlah ribuan pertahunnya, demikian juga AS. Mengapa? Inggris mau tidak mau sebagai anggota Eropa harus menyesuaikan dengan sistem hukum kontinental. Anglo saxon dengan stare decisis dalam hal tertentu mengalami kesulitan, antara lain: hakim harus menengok putusan-putusan lama, binding system kadang-kadang sudah lama sehingga menyulitkan (tidak sesuai dengan perkembangan).

Siapa pemegang peran penafsiran UU?

Prof. Bagir Manan, mantan Ketua Mahkamah Agung, menyatakan justru bukan hakim, melainkan pembentuk UU yang merupakan penafsir pertama. Pembentuk UU melakukan penafsirannya dalam beberapa bentuk: (1) Keterangan Pemerintah. Di dalamnya merupakan jawaban mengapa UU dibuat, maksud dan tujuan; (2) Penjelasan sebagaimana tertuang dalam Tambahan Lembaran Negara; (3) Pasal ketentuan umum. Bahkan menurut Sidharta, menjadi seorang perancang UU lebih sulit daripada seorang hakim.

Prof. Bagir Manan menyatakan bahwa sangat tidak benar bila ada yang menyatakan bahwa hakim adalah satu-satunya penafsir UU meskin diakui bahwa hakim mempunyai peranan yang sangat penting: (1) hakimlah yang mewujudkan hukum menjadi konkrit, yakni dengan adanya putusan hakim. UU hanyalah baying-bayang dari hukum; (2) Hakim bukan sekedar corong UU; (3) Hakimlah yang menjamin aktualisasi ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU. Untuk melaksanakan ketiga hal tersebut, sarana utamanya adalah hakim melakukan penafsiran. Bahkan ketika di persidangan pun penafsiran UU seringkali didasarkan kepada saksi ahli yang biasanya dari kalangan akademisi.

Mengapa sehari-hari Hakim melakukan penafsiran hukum:
1. tidak pernah ada fakta hukum yang sama persis dengan ketentuan UU. Meskipun ada kesamaan, tetap saja memerlukan penafsiran UU. Pada sisi lain ada asas bahwa hakim tidak boleh menolak memutus perkara.
2. Ternyata tidak semua hukum konkrit itu tercover dalam UU
3. Tugas hakim tidak saka menegakkan hukum akan tetapi juga mewujudkan keadilan
4. Keterbatasan bahasa. Bahkan satu kosa kata bahasa dapat berbeda-beda pengertiannya. Belum lagi bila dilihat dari pengertian hukum dan perkembangan sosial.

Pemberlakuan UU Penafsiran UU di Indonesia?

Semakin banyaknya UU tidak serta merta menyelesaikan masalah namun justru tidak sedikit melahirkan permasalahan. Prof. Hikmahanto Juwana, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyebutkan beberapa permasalahan tersebut.
Pertama, adanya tumpang tindih antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Kedua, pemberlakuan asas atau doktrin yang berpotensi memunculkan ketidakpastian hukum kadang tidak memiliki dasar hukum, seperti putusan pengadilan ataupun peraturan perundang-undangan. Ketiga, muncul pengulangan istilah dalam peraturan perundang-undangan, padahal istilah tersebut memiliki makna yang sama. Keempat, tidak ada keseragaman terkait teknis peraturan perundang-undangan.

Melihat permasalahan tersebut, Prof. Hikmahanto Juwana berpendapat, Indonesia perlu memikirkan suatu UU yang mirip dengan Interpretation Act. Tentu dengan mempertimbangkan secara matang sesuai konteks Indonesia, tidak sekedar transplantasi hukum begitu saja. Upaya ini demi menjamin kepastian pemberlakuan atas asas atau doktrin serta penafsiran hukum.

Terhadap kemungkinan penerapan suatu Interpretation Act di Indonesia, hal ini Dr. Shidarta (Dosen FH Tarumanegara) memberi catatan bahwa Interpretation Act bisa bermanfaat asal tidak menutup koridor bagi keleluasaan hakim untuk menafsirkan UU. Namun pada sisi lain gagasan UU tentang interpretation act bisa menjadi polemik yang menghabiskan energi. Dalam hal ini dapat juga dibuat glosarry yang berfungsi hanya sebagai pedoman saja.

Nah, bagaimana menurut Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar konstruktif dan bertanggung jawab