Sabtu, 26 September 2009

Pasca Ramadhan: PUASA YANG KONTEKSTUAL



Yunan Hilmy al-Anshary

Ramadhan telah berlalu. Siapa saja yang menyembah bulan Ramadhan, sesungguhnya dia telah mati dan berlalu. Sementara Allah tidak pernah mati dan senantiasa hidup. Oleh karena itu, kata ulama salaf, “jadilah diri anda seorang rabbani, dan jangan menjadi ramadhani”. Jadilah rabbani, artinya jadilah kita bersama Allah dan bertakwa kepada-Nya dimana pun dan kapanpun. Janganlah menjadi ramadhani, artinnya janganlah kita menghadap Allah hanya pada bulan Ramadhan, setelah itu kita melupakan-Nya dan durhaka kepada-Nya.

Diantara manusia ada yang menghadap Allah hanya pada bulan Ramadhan saja. Sehingga jika Ramadhan berakhir, maka berakhir pula hubungannya dengan Allah SWT. Dia potong tali yang menghubungkan antara dirinya dengan Allah. Di luar Ramadhan dia tidak mau pergi ke Masjid, tidak mau membuka al-Quran, tidak membasahi lidahnya dengan dzikir dan tasbih. Seakan-akan Allah hanya layak disembah pada bulan Ramadhan, sementara pada bulan-bulan lain Dia tidak perlu disembah.

Saksi

Ramadhan telah berlalu. Dia akan menjadi saksi bagi pahala kita atau saksi bagi dosa kita. Bisa sebagai saksi yang meringankan atau justru menjadi saksi yang memberatkan kita. Ramadhan akan menjadi pemberi syafaat bagi orang yang berpuasa dan shalat malam dengan baik karena dorongan iman dan mencari keridloan-Nya, sehingga dosa-dosanya yang telah lampau terampuni.

Tapi Ramadhan juga akan menjadi saksi bagi orang-orang yang berpuasa dan shalat malam tidak dengan cara yang baik, sehingga puasanya hanya mendapatkan lapar dan dahaga. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tidak berpuasa dan tidak sholat malam, padahal mereka mengaku dan menisbatkan dirinya kepada ummat Islam? Kata Nabi: “Siapa yang tidak puasa bulan Ramadhan tanpa ada rukhshah dan tidak pula karena sakit, maka tidak ada puasa selama setahun penuh yang dapat mengqadla’nya meskipun dia melakukan puasa qadla’ itu." (HR Abu Dawud, at-Tarmidzi, an-Nasa’y, Ibnu Majah dan Ahmad)

Kita telah selesai berpuasa. Selesai melakukan etape peribadatan dan memulai etape peribadatan yang lain. Kini saatnya kita melakukan spiritual audit, apakah kita sudah berada pada jalur yang benar?

Kontekstual

Kita telah kembali kepada fitrah, kembali kepada kemanusiaan, tapi semua itu perlu dibuktikan dalam hidup kita sehari-hari. Saatnya kita menjadikan puasa yang kontekstual: bagaimana tidak KKN, bagaimana membatasi diri kita dari nafsu ingin membeli hal-hal yang kurang bermanfaat, bagaimana kita melakukan hal-hal yang paling islami diantara seribu kemungkinan. Apalagi kita hidup dalam suatu tatanan sosial yang penuh riba’, terorisme, korupsi-isme, premanisme secara sistematis, sistemik dan otomatik, sehingga bagaimana kita menahan diri untuk tidak terlibat di dalamnya atau (paling tidak) membatasi keterlibatan seminimal mungkin. Bila demikian halnya, maka puasa menjadi sarana transisi mental.

Di dalam takwa (yang menjadi tujuan puasa), setidaknya mengandung dua kondisi mental. Pertama, adanya mekanisme pengendalian dari dalam untuk menekan atau meniadakan munkar. Kedua, timbulnya kekuatan kemauan untuk melakukan kema’rufan, suatu perilaku yang responsif bagi segala sesuatu yang baik untuk dirinya maupun masyarakat.

Smoga puasa Ramadhan kita akan benar-benar kontekstual dan menjadikan kita benar-benar fitri. Kembali fitri adalah kembali kepada agama, karena agama adalah fitrah atau sejalan dengan jati diri manusia.

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah Agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Ar-Rum: 30)

Selamat Idul Fitri 1430: Taqabalallahu minna wa minkum. Minal 'aidin wal faizin. Kullu 'Amin wa antum bikhair.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar konstruktif dan bertanggung jawab