Selasa, 08 September 2009

Teguran Untuk Tawadhu'



Yunan Hilmy al-Anshary

Tak ada rehatnya negeri ini diterpa badai bencana. 26 Desember 2004, lima tahun silam, Aceh diguncang gempa tektonik dahsyat disertai gelombang tsunami. Semua luluh lantak. Semua kita bersimpati dan berempati. Setelah itu, rasanya beribu bencana dan musibah selalu mengiringi detak jantung negeri ini. Gempa yang lain, gunung meletus, longsor, dan banjir, serta aneka kecelakaan. Kita juga belum terlalu lupa, jebol Situ Gintung, Maret 2009. ‘Beruntung’, ketika itu musim Pemilu, banyak ‘kekuatan’ dan pihak gegap gempita berlomba kebaikan membantu korban, lengkap dengan atribut yang warna-warni. Tentu banyak pula yang membantu dengan ikhlas. Masalah itu kini belum tuntas.

Kita kembali tergagap ketika gempa 7.3 SR yang berporos di Tasikmalaya itu mengguncang Jawa, 2 September 2009 (14.55 wib), ketika muslimin tengah khusyu’ puasa Ramadhan. Korban dan kerugian semakin nampak nyata, terutama di sekitar Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya, , dll. Upaya evakuasi diwarnai dengan serba keterbatasan. Bersyukur Presiden dan para petinggi negara sudah mengunjungi lokasi dan menemui para korban. Namun, kali ini tanpa gempita upaya pemberian bantuan dari berbagai pihak, tak sesemarak ketika musibah jebol Situ Gintung dulu. Tidak tahu, apakah ini karena bukan lagi musim Pemilu? Masyarakat sudah terlalu capek dan jenuh? Bukankah ini juga bulan Ramadan yang mubarak, bulan baik untuk berbagi dan menolong sesama? Wallahua'lam.

Bahkan belum sempat menghela nafas, gempa susulan 6.8 SR pun terjadi di Yogyakarta, Senin 7 September 2009, jelang tengah malam (23.13). Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, pusat gempa di 263 kilometer Tenggara Wonosari. Lokasi gempa tepatnya di 10.33 LS, 110.62 BT dengan kedalaman 35 KM. Begitu 'sayangnya' Allah kepada kita.

Bagi seorang muslim yang beriman, kita selalu meyakini bahwa bencana ini adalah ujian sekaligus mungkin juga murka dari Allah SWT yang telah tertulis di Lauh Mahfuzh, jauh sebelum Allah menciptakannya, bukan sekedar faktor alam semata (QS. al Hadiid 2). Tiada hidup tanpa cobaan sekalipun kita sudah merasa beriman, dan tidak ada hidup tanpa perjuangan (QS. Al-Ankabut 2). Manusia akan dicoba dalam hidupnya, baik berupa keburukan atau kebaikan (QS al-Anbiya 35), untuk mengetahui siapa yang benar dan siapa yang dusta (QS. Al-Ankabut 3) dan untuk mengetahui siapa yang paling baik amalnya: (QS al Mulk 1-2).
Gempa telah terjadi sejak zaman Nabi. Bencana gempa telah menimpa antara lain ummat Nabi Shalih, Nabi Syu’aib (kaum Madyan) dan Nabi Musa. Karena kelalaiannya dan mendustakan Nabinya ketiga ummat Nabi tersebut diguncang gempa yang dahsyat (QS. Al-Ankabut 37, al-A’raaf 155). Sudah menjadi ketetapan Allah apa akibatnya bila satu ummat menginkari dan mendustakan Nabi-Nya:

وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِّن نَّبِيٍّ إِلاَّ أَخَذْنَا أَهْلَهَا بِالْبَأْسَاء وَالضَّرَّاء لَعَلَّهُمْ يَضَّرَّعُونَ

Kami tidaklah mengutus seorang Nabi pun kepada sesuatu negeri lalu penduduknya mendustakan Nabi itu, melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri.

Itulah sikap yang dipertontonkan umat-umat terdahulu yang tidak mau mengimani akan keesaan Allah SWT, mendustakan Nabi-Nya dan berbuat dzalim ketika telah diselamatkan dari bencana.

Teman, tidaklah pantas kita berperilaku sekularistik yang menganggap tidak ada hubungan antara praktik keagamaan dengan gempa bumi itu dan mengatakan hal itu sekedar fenomena alam terjadinya penunjaman lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia. Sebagian pakar memang menyatakan bahwa benua dan lautan ‘duduk’ di atas lempeng atau kepingan yang sangat besar. Ia bergerak dengan kecepatan 1-12 centimeter setiap tahun. Lempeng yang diduduki benua Australia sedang bergerak ke arah utara dengan kecepatan sekitar 6 cm per tahun. Kalau ini berlanjut maka akhirnya—setelah sekian lama—ia dapat mengimpit kepulauan Nusantara kita yang kini terletak antara Benua Australia dan Benua Asia. Contohnya sangat nyata. Jauh sebelum ini, lebih kurang lima juta tahun yang lalu, jazirah Arab bergerak memisahkan diri dari Afrika dan membentuk Laut Merah. Hasil rekaman satelit menginformasikan, jazirah Arab beserta gunung-gunungnya bergerak mendekati Iran beberapa centimeter setiap tahunnya. Semua terjadi atas kehendak dan kuasa-Nya.

Musibah beruntun dan memakan korban serta kerugian yang sangat besar itu semestinya mengusik nurani kita. Masih lekatkah arogansi dalam diri kita? Masih adakah ruang dalam kalbu kita untuk mengambil sikap tawadhu’ di hadapan Allah yang Maha Kuasa, mencari hikmah di balik musibah itu? Allah yang Maha Kuasa pasti sedang menjewer bangsa kita agar tidak terlalu jauh menyeleweng dari rel agama yang benar.

Masih ingatkah kisah tenggelamnya kapal Titanic pada malam 14-15 April 1912? Lebih dari 1500 penumpangnya tewas. Pembuatnya demikian yakin akan kehebatan dan kemegahan kapal itu, sampai-sampai konon ia berkata: “Tuhan pun tidak akan kuasa menenggelamkannya”. Sikap durhaka dan arogansinya itulah yang membuat murka Allah sehingga kapal itu menabrak gunung es, salah satu tanda keagungan ciptaan-Nya.

Ramadhan yang penuh maghfirah ini, sangat baik untuk meningkatkan perenungan tentang berbagai masalah yang kita hadapi. Sebagai orang yang beriman, kita semua harus bisa membaca apa yang tersurat di balik yang tersirat.

Picture: Courtesy www.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar konstruktif dan bertanggung jawab